BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada saat ini banyak sekali terdapat kasus dimana
pelakunya lebih dari satu orang, yang terjadi di masyarakat kita. Dalam
beracara, hakim menjatuhkan pidana atas suatu perkara. Hakim mendasarkan
putusannya selain pada undang – undang juga mempertimbangkan tuntutan dari
jaksa penuntut umum.
Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh undang-undang
dinyatakan dilarang yang disertai ancaman pada barang-barang siapa yang
melanggar larangan
tersebut,wadah tidak pidana ialah undang-undang,baik berbentuk kodefikasi yakni
KUHP dan diluar kodefikasi yang tersear luas dalam berbagai peraturan
perundang-undangan.
Penyertaan atau dalam bahasa Belanda Deelneming
di dalam hukum Pidana Deelneming dipermasalahkan karena berdasarkan
kenyataan sering suatu delik dilakukan bersama oeleh beberapa orang,jika hanya
satu orang yang melakukan delik,pelakunya disebut Alleen dader.
Dalam makalah ini kami menjelaskan beberapa bahasan
tentan pengertian , peraturan dalam KUHP yang mengatur tentang hal tersebut
serta bentuk , sifat dan contoh kasusnya dalam kehiduapan masyarakat .
B.
Rumusan
Masalah
·
Apa pengertian delneming secara umum ?
·
Apa landasan atau dasar hukum dari delneming ?
·
saja bentuk bentuk delneming ?
·
Bagaimana contoh kasus delneming berdasarkan
bentuk bentuk atau macam macam jenis delneming
C.
Tujuan
penulisan
Ø
Untuk melengkapi tugas kelompok Hukum Pidana
Ø
Untuk mengetahui pengertian delneming
Ø
Untuk mengetahui dasar hukum delneming
Ø
Untuk memahami bentuk bentuk delneming
Ø
Untuk mengetahui contoh contoh kasus dalam
kehidupan sehari hari yang termasuk delneming .
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Pengertian deelneming atau keturutsertaan (penyertaan)
Penyertaan adalalah perbuatan tindak pidana yang
dilakukan oleh lebih dari satu orang yang saling terkait dan secara sadar
menegetahuai apa yang dilakukan,tetapi ada juga yang dikarenakan unsur paksaan.
Penyertaan di atur dalam pasal 55 dan pasal 56 KUHp yang berarti bahwa ada dua
orang atau lebih yang melakukan suatu tindak pidana atau dengan perkataan ada
dua orang atau lebih mengambil bagian untuk mewujudkan suatu tindak pidana
dapat di sebutkan bahwa seseorang tersebut turut serta dalam hubungannya dengan
orang lain
Prof.Satochid Kartanegara mengartikan Deelneming
apabila dalam satu delik tersangkut beberapa orang atau lebih dari satu
orang. Menurut doktrin, Deelneming menurut sifatnya terdiri atas :
a.
Deelneming yang berdiri sendiri,yakni pertanggung
jawaban dari setiap peserta dihargai sendiri-sendiri
b.
Deelneming yang tidak berdiri sendiri,yakni
pertanggungjawaban dari peserta yang satu digantunggkan dari perbuatan peserta
yang lain.
B. Deelneming (
penyertaan ) di atur dalam pasal
55 dan 56 KUHP
(1) “Dihukum sebai pelaku-pelaku dari suatu
tindak pidana yaitu:
1. Mereka yang melakukan, menyuruh melakukan atau turut melakukan.
2. Mereka yang dengan pemberian-pemberian,
janji-janji, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau keterpandangan, dengan
kekerasan, ancaman atau dengan menimbulkan kesalahpahaman atau dengan
memberikan kesempatan, sarana-sarana atau keterangan-keterangan, dengan sengaja
telah menggerakan orang lain untuk melakuakn tindak pidana yang bersangkutan
(2) Mengenai mereka
yang disebutkan terakhir ini yang dapat dipertanggungjawabkan kepada mereka itu
hanyalah tindakan-tindakan yang dengan sengaja telah mereka gerakkan untuk
dilakukan oleh orang lain, berikut akibat-akibatnya.
Sedangkan ketentuan pidana seperti
yang telah diatur didalam Pasal 56 KUHP adalah sebagai berikut:
“Dihukum sebagai pembantu-pembantu didalam suatu
kejahatan, yaitu :
1. Mereka
yang dengan sengaja telah memberikan bantuan dalam melakukan kejahatan
tersebut.
2. Mereka
yang dengan sengaja telah memberikan kesempatan, sarana-saran atau
keterangan-keterangan untuk melakukan kejahatan tersebut.”
C.
Bentuk-bentuk DEELNEMING
Bentuk-bentuk
deelneming atau keturutsertaan yang ada menurut ketentuan-ketentuan pidana
dalam pasal-pasal 55 dan 56 KUHP itu adalah:
1.
Pleger atau Orang
yang melakukan
2.
Doen
plegenatau menyuruh melakukan atau yang didalam
doktrin juga sering disebut sebagai middellijk daderschap;
3.
Medeplegenatau
turut melakukan ataupun yang didalam doktrin juga
sering disebut sebagai mededaderschap
4.
Uitlokkingatau
menggerakkan orang lain
5.
Medeplichtigheidatau
pembantu
1.
Pleger atau Orang
yang melakukan
Orang yang memenuhi semua unsur
delik sebagaimana di rumuskan oleh undang- undang,baik unsur subjektif maupun
objektif,Umumnya pelaku dapat diketahui dari jenis delik yakni delik formil dan
delik materil.
2.
Doen
plegenatau menyuruh melakukan
Di
dalam ilmu hukum pidana, orang yang menyuruh orang lain melakukan suatu tindak
pidana itu biasanya disebut sebagai orang middellijk dader atau seorang
mettelbare tater, yang artinya seorang pelaku tidak langsung. Ia disebut pelaku
tidak langsung karena ia memang secara tidak langsung melakukan sendiri tindak
pidana, malinkan dengan perantara orang lain.
Menurut
ketentuan pidana di dalam pasal 55 KUHP, seorang middelijke dader atau seorang
pelaku tidak langsung itu dapat dijatuhi hukuman yang sama beratnya dengan
hukuman yang dapat dijatuhkan kepada pelakunya sendiri, dan dalam hal ini yaitu
hukuman yang dapat dijatuhkan kepada pelaku materialnya itu sendiri.
Oleh
karena dalam bentuk deelneming doen plegen ini selalu terdapat seorang
middelijke dader, maka bentuk deelneming ini juga sering disebut sebagai suatu
middelijke daderschap.
Untuk
adanya suatu doen plegen seperti yang dimaksudkan di dalam pasal 55 ayat 1
angka 1 KUHP itu, orang yang disuruh melakukan itu haruslah memenuhi beberapa
syarat tertentu yaitu:
1.
Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu adalah seseorang
yang ontoerekeningvatbaar seperti yang dimaksudkan didalam pasal 44 KUHP
2.
Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana mempunyai suatu
dwaling atau suatu kesalahpahaman mengenai salah satu unsur dari tindak pidana
yang bersangkutan
3.
Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindakpidana itu sama sekali tidak
mempunyai unsur schuld, baik dolus maupun culpa, ataupun apabila orang tersebut
tidak memenuhi unsur opzet seperti yang tela disyaratkan oleh undang-undang
bagi tindak pidana tersebut
4.
Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu memenuhi unsur
oogmerk, padahal unsur tersebut telah disyaratkan didalam rumusan undang-undang
mengenai tindak pidana tersebut diatas
5.
Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu telah melakukannya
dibawah pengaruh suatu overmacht atau dibawah pengaruh suatu keadaan yang
memaksa, dan terhadap paksaan mana orang tersebut tidak mampu memberikan suatu
perlawanan
6.
Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana dengan itikad baik
telah melaksanakan suatu perintah jabatan, padahal perintah jabatan tersebut
diberikan oleh seorang atasan yang tidak berwenang memberikan perintah semacam
itu
7.
Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu tidak mempunyai
suatu hoedanigheid atau suatu sifat tertentu, seperti yang telah disyaratkan
oleh undang-undang, yakni sebagai suatu sifat yang harus dimiliki oleh
pelakunya sendiri.
Untuk adanya
suatu doen plegen itu adalah tidak perlu, bahwa orang yang telah menyuruh
melakukan itu harus secara tegas memberikan perintahnya kepada orang yang telah
disuruhnya melakukan sesuatu
Untuk
adanya suatu doen plegen itu adalah juga tidak perlu, bahwa suruhan untuk
melakukan suatu tindak pidana itu harus diberikan secara langsung untuk
middelijke dader kepada orang materieele dader. Melainkan ia dapat juga
diberikan dengan perantaraan orang lain.
3.
Medeplegenatau
turut melakukan
Medeplegen
disamping merupakan suatu bentuk deelneming, maka ia juga merupakan suatu
bentuk daderschap. Apabila seseorang itu melakukan suatu tindak pidana, maka
biasanya ia disebut sebagai seorang dader atau seorang pelaku. Apabila beberapa
orang yang secara bersama-sama melakukan suatu tindak pidana, maka setiap
peserra didalam tindak pidana itu dipandang sebagai seorang mededader dari
peserta atau peserta lainnya.
Misalnya
tiga orang secara bersama-sama telah melakukan pelanggaran dengan bersepeda
secara berjejer diatas jalan umum, yang oleh pembentuk undang-undang telah
dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang terlarang dan diancam dengan hukuman.
Menurut
Prof. Lamintang, hakim tidak perlu menyebutkan secara tegas bentuk-bentuk
keturutsertaan yang telah dilakukan oleh seorang tertuduh, oleh karena
pencantuman dari peristiwa yang sebenarnya telah terjadi itu sendiri sebenarnya
telah menunjukkan bentuk ketrutsertaan yang dilakukan oleh masing-masing
peserta didalam suatu tindak pidana yang telah mereka lakukan.
Menurut
van Hamel, suatu medeplegen itu hanya dapat dianggap sebagai ada, yaitu apabila
tindakan tiap-tiap peserta didalam suatu tindak pidana dapat dianggap sebagai
telah menghasilkan suatu dadrschap secara sempurna.
Menurut
Prof. Van Hattum, perbuatan medepelegen didalam pasal 55 KUHP itu haruslah
diartikan sebagai suatu opzettelijk medeplegen atau suatu kesengajaan untuk
turut melakukan suatu tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain.
Ini
berarti bahwa suatu kesengajaan untuk turut melakukan suatu culpoos delict itu
dapat dihukum dan sebaliknya suatu ketidaksengajaan turut melakukan sesuatu
opzetettelijk atau suatu culpos delict itu menjadi tidak dapat dihukum.
Ini
berarti bahwa menurut Prof. Van Hattum opzet seorang medeplegen itu harus
ditujukan kepada :
a.
Maksud untuk bekerjasama dengan orang lain dalam melakukan suatu tindak pidana
dan
b.
Dipenuhinya semua unsur dari tindak pidana tersebut yang diliputi oleh unsur
opzet yang harus dipenuhi oleh pelakunya sendiri, yakni sesuai dengan yang
disyaratkan dalam rumusan tindak pidana yang bersangkutan.
Menurut
Prof. Legemeijer, baik orang yang mempunyai opzet untuk membunuh koraban,
maupun orang yang turut melakukan dengan maksud semata-mata menganiaya koraban
itu kedua-duanya harus dipersalahkan telah turut melakukan suatu penganiayaan
berat yang menyebabkan matinya oranglain.
Sebagai
alasan telah dikemukakannya bahwa bentuk-bentuk daderschap yang disebutkan
dalam pasal 55 KUHP itu harus ditafsirkan sedemikian rupa, sehingga
bentuk-bentuk daderschap tersebut harus disamakan dengan plegen.
Menurut
Prof. Van Hattum, untuk adanya suatu medeplegen itu tidak diperlkan adanya
suatu kesamaan opzet pada masing-masing peserta kejahatan.
Perbedaan
medeplegen dengan medeplichtigheid disebutkan dalam Memorie van toechlichting :
“Yang membedakan seorang yang turut melakukan dari seorang yang membantu
melakukan itu adalah, bahwa orang yang disebutkan pertama itu secara langsung
telah ikut mengambil bagian dalam pelaksanaan suatu tindak pidana yang telah
diancam dengan suatu hukuman oleh undang-undang, atau telah secara langsung
turut melakukan suatu perbuatan atau turut melakukan perbuatan untuk
menyelesaikan tindak pidana yang bersangkutan; sedang orang yang disebutkan
terakhir itu hanyalah memberikan bantuan untuk melakukan perbuatan”.
Kedua
bentuk ini mempunyai akibat yang berbeda-beda, yaitu dihubungkan dengan jenis
delik yang dapat menjadi objek dari kedua bentuk deelneming tersebut. Pada
medeplegen yang dapat dihukum adalah turut melakukan baik kejahatan maupun
pelanggaran, sedang pada medeplichtigheid itu yang dapat dihukum hanyalah
membantumelakukan kejahatan saja. Oleh karena menurut pasal 60 KUHP itu,
perbuatan membantu melakukan pelanggaran dinyatakan sebagai suatu perbuatan
yang tidak dapat dihukum.
Dewasa
ini sudah tidak lagi menjadi persoalan, apakah orang yang tidak mempunyai suatu
“persoonlijke hoedanigheid” atau suatu “sifat pribadi” itu dapat turut
melakukan suatu Kwaliteitsdelict atau tidak, oleh karena menurut paham yang
terbaru, seseorang yang tidak mempunyai kualitas tertentu yang oleh
undang-undang telah disyaratkan harus dimiliki oleh pelakunya itu, dapat saja
turut melakukan apa yang disebut kwaliteits delicten, hanya saja dengan satu
syarat, yaitu bahwa mereka itu mengetahui bahwa rekan pesertanya didalam melakukan
suatu kwaliteitsdelict itu memiliki kualitas seperti itu.
Bagi
suatu medeplegen, seperti halnya dengan suatu poging, diperlukan adanya suatu
begin van uitvoering atau suatu permulaan pelaksanaan, walaupun undang-undang
sendiri telah mensyaratkan hal tersebut secara tegas.
4.
Uitlokkingatau
menggerakkan orang lain
Uitlokking
atau mereka yang menggerakkan untuk melakukan suatu tindakan dengan daya –
upaya tertentu, adalah bentuk penyertaan penggerakkan yang inisiatif berada
pada penggerak. Dengan perkataan lain, suatu tindak pidana tidak akan terjadi
bila inisiatif tidak ada pada penggerak. Karenanya penggerak harus dianggap
sebagai petindak dan harus dipidana sepadan dengan pelaku yang secara fisik
menggerakkan. Tidak menjadi persoalan apakah pelaku yang digerakkan itu sudah
atau belum mempunyai kesediaan tertentu sebelumnya untuk melakukan tindak
pidana.
Syarat – syarat dalam bentuk penyertaan
penggerak:
1. Kesengajaan penggerak ditujukan agar suatu
tindakan tertentu dilakukan oleh pelaku yang digerakkan.
Tujuan
penggerakan itu adalah terwujudnya suatu tindak pidana tertentu. Ini berarti
apabila yang dilakukan oleh pelaku yang digerakkan adalah tindak pidana lain,
maka penggerak bukan merupakan petindak. Harus ada hubungan kausal antara
kesengajaan dengan tindak pidana yang terjadi.
Menurut
undang – undang secara harafiah tidak ada pengaruh dari kesengajaan yang ada
pada penggerak, selama orang yang digerakkan tidak melakukan tindakan yang
digerakkan atau selama tindakannya hanya sampai pada persiapan-pelaksanaan.
Kesengajaan penggerak mempunyai pengaruh melalui pasal 163 bis hanya dalam hal
tindakan yang digerakkan merupakan kejahatan. Bilamana tindakan yang digerakkan
itu adalah pelanggaran, maka penggerak tidak dapat dipidana.
2. Daya upaya untuk menggerakkan adalah
tertentu sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang.
Daya-upaya
untuk menggerakkan adalah tertentu sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang
yaitu suatu pemberian, suatu perjanjian, penyalahgunaan kekuasaan, kekerasan,
ancaman atau penyesatan, atau dengan pemberian kesempatan, sarana atau
keterangan.
a)
Pemberian dan perjanjian, dirumuskan tanpa memberikan suatu pembatasan.
Pengertiannya menjadi luas yaitu dapat berbentuk uang atau benda, bahkan di
luar bentuk uang atau benda seperti misalnya jabatan, kedudukan atau lebih luas
lagi yaitu suatu janji yang akan membantu si tergerak baik secara material
maupun secara moril untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dan lain sebagainya.
b)
Penyalahgunaan kekuasaan, bukan saja terbatas pada kekuasaan yang ada padanya
karena jabatan, tetapi juga meliputi kekuasaan yang dimiliki oleh penggerak
secara langsung terhadap si tergerak, seperti hubungan kekeluargaan, pekerjaan,
pendidikan, kepercayaan, dan sebagainya. Ini harus dibedakan dengan perintah
jabatan yang termaksud pada pasal 52 KUHP. jika pada perintah jabatan perbuatan
tersebut termasuk wewenang dari penguasa, maka pada penyalahgunaan kekuasaan
tidak dipersyaratkan bahwa perintah itu termasuk tindakan yang benar-benar
diharuskan dalam rangka kekuasaan yang disalahgunakan itu.
c)
Penyalahgunaan martabat, merupakan suatu kekhususan di Indonesia yang ditambah
dalam KUHP yang di dalam W.v.S tidak ada. Contohnya adalah kepala suku yang
dipatuhi karena disegani.
d)
Kekerasan, di sini harus sedemikian ringan sehingga tidak merupakan suatu
alasan untuk meniadakan unsur kesalahan/kesengajaan dari si tergerak (pasal 48
daya paksa) yang mengakibatkan tidak dipidananya si tergerak. Batas yang tegas
antara kekerasan yang dimaksud di pasal 48 dan menurut pasal 55 agak sukar
ditentukan, karena undang – undang juga tidak menentukan. Perbatasan ini lebih
diserahkan kepada penafsiran, yang sedemikian ringan sehingga menurut
perhitungan layak, si tergerak mampu mengelak atau menolak untuk melakukan
tindak pidana yang digerakkan. Misal, seorang wanita mendorong-dorong pacarnya
untuk memukul bekas tunangannya yang pernah menyakiti hatinya.
e)
Ancaman, tidak terbatas pada ancaman kekerasan seperti di atas, tetapi meluas
juga sampai pada ancaman penghinaan, ancaman pembukaan rahasia pribadi, ancaman
akan memecat atau menyisihkan dari suatu pergaulan, ancaman akan mengurangi
hak/kewenangan tertentu, dan lain sebagainya.
f)
Penyesatan, ada juga yang menyebutnya tipu-daya, tetapi agar tidak disamakan
dengan penipuan dan kejahatan tipu-daya maka lebih baik disebut penyesatan.
Yang dimaksud penyesatan ialah agar supaya seseorang tergerak hatinya untuk
cenderung melakukan suatu tindakan sebagaimana yang digerakkan oleh penggerak.
Unsur kesengajaan harus ada pada orang yang digerakkan. Contohnya A bilang pada
B bahwa C telah menjelekkan nama B, yang sesungguhnya tidak benar, karenanya B
jadi marah dan memukul C. Akibat dari penyesatan adalah untuk menimbulkan
ketegangan dalam hati orang lain yang dapat berupa iri hati, pembangkitan
dendam terpendam, kebencian, amarah dan sebagainya sehingga ia cenderung untuk
melakukan suatu tindakan tetapi dalam batas-batas bahwa ia sesungguhnya masih
dapat mengendalikan diri sendiri.
g)
Pemberian kesempatan, sarana atau ketenangan, adalah merupakan cara untuk
menggerakkan seseorang yang ketentuannya baru ditambah tahun 1925 dalam KUHP.
Dalam pasal 56 ke-2 yang berbunyi ”mereka yang sengaja memberikan kesempatan,
saran, atau keterangan untuk melakukan kejahatan”, kadang agak sulit dibedakan
dengan pasal 55.
Contoh:
A memberi kesempatan (sarana/keterangan) kepada B, kemudian B melakukan suatu
tindak pidana, maka sehubungan dengan pasal 55 dan 56 tersebut perbedaannya
terletak pada:
·
Jika pada A, keinginan atau kehendak untuk melakukan suatu tindak pidana
tertentu sudah ada sejak pertama kali, sedangkan pada B baru ada setelah ia
digerakkan dengan pemberian kesempatan (sarana/keterangan) dan lalu b melakukan
tindak pidana, maka kita berbicara mengenai bentuk penyertaan penggerak (pasal
55). Dalam hal ini A adalah penggerak dan B yang digerakkan. Tetapi jika pada B
sejak semula sudah ada kehendak untuk melakukan suatu tindak pidana tertentu
dan ia minta kesempatan dan sebagainya dari A, di mana A sengaja memberikannya
dan diketahui bahwa kesempatan itu diperlukan oleh B untuk melakukan suatu
pidana tertentu, maka kita berbicara mengenai bentuk penyertaan pembantuan
(pasal 56). Dalam hal ini A adalah pembantu dan B petindak/pelaku.
·
Dalam kasus tersebut di atas, apakah B sebagai tergerak atau sebagai petindak
(pelaku) ancaman pidananya adalah sama, yaitu dipidana (sama) sebagai petindak
(dader), tetapi bagi A tidak demikian, karena dalam hal bentuk penyertaan
penggerakan ia dipidana sebagai petindak, tetapi dalam hal bentuk penyertaan
pembantuan ia dipidana sebagai pembantu – petindak yang ancaman pidana maksimumnya
dikurangi dengan sepertiganya.
3. Adanya orang yang digerakkan, dan telah
melakukan suatu tindakan karena daya-upaya tersebut.
Dalam
penyertaan pergerakan harus selalu ada orang yang digerakkan baik langsung
maupun tidak langsung. Hubungan antara penggerak dengan orang lain itu tidak
harus selalu langsung. Misalnya begini, A menggerakkan B dan kemudian pada
waktu dan tempat yang terpisah B bersama – sama C melakukan tindakan yang
dikehendaki oleh A. Dalam hal ini A tetap dipertanggungjawabkan sebagai penggerak
dari B maupun C. C dianggap telah turut tergerak melakukan tindakan tersebut
karena daya upaya A.
4. pelaku yang digerakkan harus telah
melakukan tindak pidana yang digerakkan atau percobaan untuk tindak pidana
tersebut.
Hubungan
kausal antara daya-upaya yang digunakan dan tindak pidana yang dilakukan harus
ada. Artinya justru si tergerak itu tergerak hatinya untuk melakukan tindak
pidana adalah karena daya – upaya dari penggerak. Tindak pidana yang
dikehendaki oleh penggerak harus benar – benar terjadi. Seandainya tindakan
tergerak hanya sampai pada suatu tingkat percobaan yang dapat dihukum saja dari
tindak pidana yang dikehendaki penggerak, maka penggerak sudah dapat dipidana
menurut pasal 55 ayat (2).
5.
Medeplichtigheidatau
pembantu
Sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 56 KUHP, pembantuan ada 2 (dua) jenis, yaitu :
Pembantuan pada saat
kejahatan dilakukan. Cara bagaimana pembantuannya tidak disebutkan dalam KUHP.
Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan ini mirip dengan turut serta (medeplegen),
namun perbedaannya terletak pada :
1. Pada pembantuan
perbuatannya hanya bersifat membantu atau menunjang, sedang pada turut serta
merupakan perbuatan pelaksanaan.
2. Pada pembantuan,
pembantu hanya sengaja memberi bantuan tanpa diisyaratkan harus kerja sama dan
tidak bertujuan atau berkepentingan sendiri, sedangkan dalam turut serta, orang
yang turut serta sengaja melakukan tindak pidana, dengan cara bekerja sama dan
mempunyai tujuan sendiri.
3. Pembantuan dalam
pelanggaran tidak dipidana (Pasal 60 KUHP), sedangkan turut serta dalam
pelanggaran tetap dipidana.
4. Maksimum pidana
pembantu adalah maksimum pidana yang bersangkutan dikurangi 1/3 (sepertiga),
sedangkan turut serta dipidana sama.
· Pembantuan sebelum
kejahatan dilakukan, yang dilakukan dengan cara memberi kesempatan, sarana atau
keterangan. Pembantuan dalam rumusan ini mirip dengan penganjuran (uitlokking).
Perbedaannya pada niat atau kehendak, pada pembantuan kehendak jahat pembuat
materiel sudah ada sejak semula atau tidak ditimbulkan oleh pembantu, sedangkan
dalam penganjuran, kehendak melakukan kejahatan pada pembuat materiel
ditimbulkan oleh si penganjur.
Berbeda dengan
pertanggungjawaban pembuat yang semuanya dipidana sama dengan pelaku, pembantu
dipidana lebih ringan dari pada pembuatnya, yaitu dikurangi sepertiga dari
ancaman maksimal pidana yang dilakukan (Pasal 57 ayat (1) KUHP). Jika kejahatan
diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, pembantu dipidana penjara
maksimal 15 tahun. Namun ada beberapa catatan pengecualian :
1.
Pembantu dipidana sama berat dengan pembuat, yaitu pada kasus tindak pidana :
· Membantu merampas
kemerdekaan (Pasal 333 ayat (4) KUHP) dengan cara memberi tempat untuk
perampasan kemerdekaan,
· Membantu menggelapkan
uang atau surat oleh pejabat (Pasal 415 KUHP),
· Meniadakan
surat-surat penting (Pasal 417 KUHP).
2.
Pembantu dipidana lebih berat dari pada pembuat, yaitu dalam hal melakukan
tindak pidana :
Membantu
menyembunyikan barang titipan hakim (Pasal 231 ayat (3) KUHP).
Dokter yang membantu
menggugurkan kandungan (Pasal 349 KUHP)
Perlu diketahui bahwa
disamping bentuk keturutsertaan diatas itu, KUHP kita masih mengenal 2 bentuk
keturutsertaan lainnya, masing-masing:
a. Samenspanning atau
permufakatan jahat sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 88 KUHP dan
b. Deelneming aan eene
vereniging die tot oogmerk heft het plegen van misdrijven atau keturutsertaan
dalam suatu kumpulan yang bertujuan melakukan kejahatan-kejahatan sebagaimana
yang telah diatur dalam pasal 169 KUHP.