Sabtu, 11 Mei 2019

SURAT KUASA MEDIASI

                                                               SURAT KUASA MEDIASI


Yang bertanda tangan di bawah ini :

xxxxxxxx Bin xxxxxxx, Tempat dan Tanggal lahir Toraja, 06 Juli 1980, Umur ± 39 tahun, Agama Islam, Pekerjaan Karyawan Swasta, Pendidikan terakhir SMA/Sederajat, bertempat tinggal di Jalan A. Yani KM. 8 No. 20, Kelurahan/Desa Manarap Lama, Kecamatan Kertak Hanyar, Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan ; ----------------------------------------------------------------------------
Untuk selanjutnya disebut sebagai-----------------------------PEMBERI KUASA

Dalam hal ini memilih tempat domisili di alamat kuasanya yang akan disebut dibawah ini, menerangkan dengan ini memberikan kuasa istimewa kepada :

Herwandy Baharuddin, S.H. ---------------------------------------------------------------------------------------
Ashar, S.H. -----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Keduanya adalah Advokat / Pengacara / Konsultan Hukum / Penasehat Hukum pada kantor Advokat dan Konsultan Hukum Herwandy Baharuddin, S.H. & Partners beralamat di Jalan A. P. Pettarani No. 6D, Kelurahan Rijang Pittu, Kecamatan MaritengngaE, Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi-Selatan. No. HP: 0852-1723-2708, Dalam hal ini bertindak secara bersama-sama maupun secara sendiri-sendiri. -------------------------------------------------------------------------------------------------------
Untuk selanjutnya disebut sebagai----------------------------PENERIMA KUASA

-----------------------------------------------------    ISTIMEWA    -----------------------------------------------
Untuk menghadap pada Pengadilan Agama Sidenreng Rappang guna mewakili Pemberi Kuasa untuk menghadap Mediator sebagai Kuasa Hukum Pemohon berlawanan dengan Termohon yaitu : 

xxxxxxxx Binti xxxxxxxx, Tempat dan Tanggal lahir Enrekang, 27 April 1980, Umur 39 tahun, Agama Islam, Pekerjaan Mengurus Rumah Tangga, Pendidikan terakhir SMA/Sederajat, bertempat tinggal di Kampung Baru, RT. 011 RW. 005, Kelurahan/Desa Batu Lappa, Kecamatan Watang Pulu, Kabupaten Sidenreng Rappang, Provinsi Sulawesi Selatan, dalam Perkara Nomor:    /Pdt.G/2019/PA.Sidrap, Penerima Kuasa diberikan hak untuk Mengambil Segala Keputusan, menghadap, dan berbicara dihadapan mediator dan pihak-pihak terkait, menandatangani surat, termasuk membuat berita acara keberhasilan atau gagalnya proses mediasi; 

Dan selanjutnya mewakili PEMBERI KUASA untuk mengambil segala tindakan yang lazim pekerjaan seorang Advokat sepanjang untuk mempertahankan kepentingan hukum PEMBERI KUASA dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bahwa surat kuasa ini dibuat dengan pertimbangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 6 ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, yaitu “ Ketidakhadiran Para Pihak secara langsung dalam proses Mediasi hanya dapat dilakukan berdasarkan alasan sah “ dan Pasal 6 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, yaitu “ Alasan sah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi antara lain:

a. kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan hadir dalam pertemuan Mediasi      berdasarkan surat keterangan dokter;
b. di bawah pengampuan;
c.  mempunyai tempat tinggal, kediaman atau kedudukan di luar negeri; atau
      d. menjalankan tugas negara, tuntutan profesi atau pekerjaan yang tidak dapat ditinggalkan.

Surat Kuasa ini diberikan dengan Hak Subtitusi dan Hak Retensi yang tidak dapat dicabut secara sepihak oleh pemberi kuasa.

Demikian surat kuasa ini saya berikan kepada Penerima Kuasa, tanpa ada paksaan dan tekanan apapun.
                                                 Sidenreng Rappang, 11 Mei 2019

                  Pemberi Kuasa,                                                        Penerima Kuasa,





          xxxxxxx Bin xxxxxxxxx                                        Herwandy Baharuddin, S.H.




                                                                                                        Ashar, S.H.

Minggu, 23 September 2018

Refrensi hukum Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan

Refrensi hukum Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan

v  Pasal 372 KUHP (Wetboek van Strafrecht) tentang Penggelapan
“Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai milik sendiri (zich toeeigenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam, karena penggelapan, dengan pidana paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak enam puluh rupiah.”
Unsur-unsur Pasal 372 KUHP (Wetboek van Strafrecht) :
1.    Barangsiapa;
2.    Dengan sengaja;
3.    Melawan hukum (wederrechttelijk) mengaku sebagai milik sendiri (zich toeeigenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain (enig goed dat geheel of ten dele aan een ander toebehoort);
4.    Yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan (anders dan door misdrijf onder zich hebben).
1)   Unsur “Barangsiapa”
Unsur (bestandeel)  barangsiapa ini menunjuk kepada pelaku/ subyek tindak pidana, yaitu orang dan korporasi. Unsur barang siapa ini menunjuk kepada subjek hukum, baik berupa orang pribadi (naturlijke persoon) maupun korporasi atau badan hukum (recht persoon), yang apabila terbukti memenuhi unsur dari suatu tindak pidana, maka ia dapat disebut sebagai pelaku atau dader.
Bahwa, menurut Prof. Sudikno Mertokusumo :
“Subyek hukum (subjectum juris) adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh, mempunyai atau menyandang hak dan kewajiban dari hukum, yang terdiri dari :
·         orang (natuurlijkepersoon);
·         badan hukum (rechtspersoon).”
(Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, 1999, h. 12, 68-69)
Menurut Simons, merumuskan strafbaar feit atau delik sebagai berikut :
eene starfbaar gestelde, onrechtmatige. Met schuld in verband staande, van een toekeningsvatbaar persoon
Artinya : Suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan pidana, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seseorang yang bersalah dan orang itu dipandang bertanggungjawab atas perbuatannya.
(Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2005, h. 98)
2)   Unsur “Dengan sengaja”
Bahwa, salah satu unsur yang terdapat dalam Pasal 372 KUHP (Wetboek van Strafrecht) ialah unsur “dengan sengaja (opzettelijk)”, dimana unsur ini merupakan unsur subjektif dalam tindak pidana penggelapan, yakni unsur yang melekat pada subjek tindak pidana, ataupun yang melekat pada pribadi pelakunya. Hal ini dikarenakan unsur “opzettelijk” atau unsur dengan sengaja” merupakan unsur dalam tindak pidana penggelapan, dengan sendirinya unsur tersebut harus dibuktikan.
Bahwa terdapat dua teori berkaitan “dengan sengaja” atau opzettelijke. Pertama, teori kehendak atau wilshtheorie yang dianut oleh Simons, dan kedua teori pengetahuan atau voorstellingstheorie yang antara lain dianut oleh Hamel.
Bahwa, maksud unsur kesengajaan dalam pasal ini, adalah seorang pelaku atau dader sengaja melakukan perbuatan-perbuatan dalam pasal 372 KUHP.
Bahwa, menurut PAF. Lamintang :
“Dalam tindak pidana (strafmaatregel) penggelapan (verduistering), agar seseorang dapat dikualifikasikan telah dengan sengaja melakukan tindakan penggelapan, maka dalam diri pelaku harus terdapat keadaan-keadaan sebagai berikut:
a.   Pelaku telah  “menghendaki” atau “bermaksud” untuk menguasai suatu benda secara melawan hukum;
b.   Pelaku “mengetahui” bahwa ia yang kuasai itu adalah sebuah benda;
c.   Pelaku “mengetahui” bahwa benda tersebut sebagian atau seluruhnya adalah kepunyaan orang lain;
d.   “mengetahui” bahwa benda tersebut berada padanya bukan karena kejahatan.”
(PAF. Lamintang, Delik-Delik Khusus : Kejahatan-Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, PT. Sinar Baru, Bandung, 1989, h. 106)
Jika “kehendak” dan “pengetahuan-pengetahuan” tersebut telah dapat dibuktikan maka baru dapat dikatakan bahwa pelaku (dader) telah memenuhi unsur dengan sengaja (opzettelijk)” yang terdapat dalam unsur tindak pidana penggelapan sebagaimana diatur dalam Pasal 372 KUHP (Wetboek van Strafrecht).
Bahwa, menurut Prof. Satochid Kartanegara, SH bersama-sama ahli hukum lainnya dalam “hukum pidana kumpulan kuliah bagian satu”, menyebutkan:
“kesengajaan (opzet) atau dolus dapat dirumuskan sebagai : melaksanakan sesuatu perbuatan, yang dilarang oleh suatu keinginan untuk berbuat atau tidak”
Bahwa, menurut Prof. Satochid Kartanegara, SH, pengertian opzet dapat dilihat dalam Memorie van Tolichting (penjelasan undang-undang), yaitu “willens en weten”, pengertian “willens en weten” adalah :
Seseorang yang melakukan sesuatu perbuatan dengan sengaja, harus menghendaki (willen) perbuatan itu, serta harus menginsyaf/ mengerti (weten) akan akibat dari perbuatannya itu
Bahwa, menurut Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung RI No. 166 K/Kr/1963, tanggal 7 Juli 1964, menjelaskan :
“pemilikan dilakukan dengan sengaja dan bahwa pemilikan itu dengan tanpa hak merupakan unsur-unsur daripada tindak pidana tersebut dalam pasal 372 KUHP”
3)   Unsur “Melawan hukum (wederrechttelijk) mengaku sebagai milik sendiri (zich toeeigenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain (enig goed dat geheel of ten dele aan een ander toebehoort)”
Bahwa, unsur lain yang terdapat pada Pasal 372 KUHP (Wetboek van Strafrecht), yaitu unsur “melawan hukum (wederrechtelijk) mengaku sebagai milik sendiri (zich toeeigenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain”.
Bahwa, maksud unsur “melawan hukum” atau wederrechtelijk adalah apabila perbuatan yang dilakukan oleh seorang pelaku atau dader bertentangan dengan norma hukum tertulis (peraturan perundang-undangan) atau norma hukum tidak tertulis (kepatutan atau kelayakan) atau bertentangan dengan hak orang lain sehingga dapat dikenai sanksi hukum.
Bahwa, perkataan “memiliki secara melawan hukum” adalah terjemahan dari perkataan “wederrechtelijk zich toeeigent”, yang menurut Memorie van Toelichting ditafsirkan sebagai:
“het zich wederrechtelijk als heer en meester gedragen ten aanzien van het goed alsof hij eigenaar is, terwijl hij het niet is”  atau “secara melawan hukum memiliki sesuatu benda seolah-olah ia adalah pemilik dari benda tersebut, padahal ia bukanlah pemiliknya”.
(P.A.F. Lamintang, C. Djisman Samosir, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, h. 155)
Menurut Hoge Raad, perbuatanzich toeeigenenadalah:
“Menguasai benda milik orang lain secara bertentangan dengan sifat daripada hak yang dimiliki oleh si pelaku atas benda tersebut.”
(P.A.F. Lamintang, C. Djisman Samosir, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, h. 155)
Menurut Prof Mr. D. Simons mengartikan “zich toeeigenen”:
“Membawa sesuatu benda di bawah kekuasaannya yang nyata sebagaiman yang dapat dilakukan oleh pemiliknya atas benda tersebut, sehingga berakibat bahwa kekuasaan atas benda itu menjadi dilepaskan dari pemiliknya”
Menurut Brigjen Drs. H.A.K. Moch. Anwar, SH, menyatakan :
“unsur melawan hukum dapat terjadi bilamana pelaku melakukan perbuatan memiliki itu tanpa hak atau kekuasaan. Ia tidak mempunyai hak untuk melakukan perbuatan memiliki, sebab ia bukan yang punya, bukan pemilik. Hanya pemilik yang mempunyai hak untuk memilikinya”
(Brigjen Drs. H.A.K. Moch. Anwar, SH, Hukum Pidana Khusus (KUHP buku II), Alumni Bandung, 1979, hlm. 37)
Menurut Munir Fuady menyatakan :
Bahwa perbuatan yang dilakukan haruslah melawan hukum, sejak tahun 1919, unsur melawan hukum ini diartikan dalam arti yang seluas-luasnya, yakni meliputi hal-hal sebagai berikut:
a.     Perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku.
b.    Yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum.
c.     Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku.
d.    Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan (goede zeden).
e.    Perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam masyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain (indruist tegen de zorgvildigheid, welke in het maatschappelijke verkeer betaamt ten aanzien van anders person of goed)
(Munir fuady, Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer), PT. Citra Aditya Bakti, bandung, 2005, Hal. 11)
4)   Yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan (anders dan door misdrijf onder zich hebben)
Bahwa, untuk menentukan terpenuhinya unsur ini, maka pelaku (dader) yang diduga telah melakukan tindak pidana (strafmaatregel) penggelapan (verduistering) harus menguasai barang tersebut bukan dengan jalan kejahatan.
Menurut Adami Chazawi mengatakan :
“Sesuatu benda berada dalam kekuasaan seseorang adalah apabila antara orang itu dengan bendanya terdapat hubungan yang sedemikian eratnya, sehingga apabila ia akan melakukan segala perbuatan terhadap benda itu ia dapat segera melakukannya secara langsung dan nyata, tanpa terlebih dulu harus melakukan perbuatan lain. Benda milik orang lain berada dalam kekuasaan seseorang bukan karena kejahatanlah yang merupakan unsur dari delik penggelapan ini, dan ini dapat terjadi oleh sebab perbuatan-perbuatan hukum seperti: penitipan, perjanjian sewa menyewa, pengancaman, dsb.”
(Adami Chazawi, Hukum Pidana III, Produksi Si Unyil, Malang, h. 12 & 15)
Menurut Brigjen Drs. H.A.K. Moch. Anwar, SH,
“barang harus seluruhnya atau sebahagian kepunyaan orang lain. Barang tidak perlu kepunyaan orang lain pada keseluruhannya”

(Brigjen Drs. H.A.K. Moch. Anwar, SH, Hukum Pidana Khusus (KUHP buku II), Alumni Bandung, 1979, hlm. 19)


2.1 Pengertian Tindak Pidana Penggelapan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Penggelapan diartikan sebagai proses, cara dan perbuatan menggelapkan (penyelewengan) yang menggunakan barang secara tidak sah.
Menurut R. Soesilo (1968.258), penggelapan adalah kejahatan yang hampir sama dengan pencurian dalam pasal 362. Bedanya ialah pada pencurian barang yang dimiliki itu belum berada di tangan pencuri dan masih harus “diambilnya” sedangkan pada penggelapan waktu dimilikinya barang itu sudah ada di tangan si pembuat tidak dengan jalan kejahatan.
Menurut Lamintang, tindak pidana penggelapan adalah penyalahgunaan hak atau penyalahgunaan kepercayaan oleh seorang yang mana kepercayaan tersebut diperolehnya tanpa adanya unsur melawan hukum.[1]
Pengertian yuridis mengenai penggelapan diatur pada Bab XXIV (buku II) KUHP, terdiri dari 5 pasal (372 s/d 376). Salah satunya yakni Pasal 372 KUHP, merupakan tindak pidana penggelapan dalam bentuk pokok yang rumusannya berbunyi: "Barang siapa dengan sengaja menguasai secara melawan hukum sesuatu benda yang seharusnya atau sebagian merupakan kepunyaan orang lain yang berada padanya bukan karena kejahatan, karena bersalah melakukan penggelapan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun atau dengan pidana denda setinggi-tingginya 900 (sembilan ratus) rupiah."[2]
Jadi, penggelapan dalam tindak pidana tersebut dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang menyimpang/menyeleweng,  menyalahgunakan kepercayaan orang lain dan awal barang itu berada ditangan bukan merupakan perbuatan yang melawan hukum, bukan dari hasil kejahatan.
2.2  Jenis-Jenis Tindak pidana Penggelapan
Berikut jenis-jenis tindak pidana penggelapan berdasarkan Bab XXIV Pasal 372 sampai dengan 377 KUHP.
1)  Penggelapan biasa
Yang dinamakan penggelapan biasa adalah penggelapan yang diatur dalam Pasal 372 KUHP: “Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai milik sendiri (zich toeegenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
2)  Penggelapan Ringan
Pengelapan ringan adalah penggelapan yang apabila yang digelapkan bukan ternak dan harganya tidak lebih dari Rp.25. Diatur dalam Pasal 373 KUHP.
3) Penggelapan dengan Pemberatan
Penggelapan dengan pemberatan yakni penggelapan yang dilakukan oleh orang yang memegang barang itu berhubungan dengan pekerjaannya atau jabatannya atau karena ia mendapat upah (Pasal 374 KUHP).
4) Penggelapan oleh Wali dan Lain-lain.
            Penggelapan dalam lingkungan keluarga yakni penggelapan yang dilakukan dilakukan oleh orang yang karena terpaksa diberi barang untuk disimpan, atau oleh wali, pengampu, pengurus atau pelaksana surat wasiat, pengurus lembaga sosial atau yayasan, terhadap barang sesuatu yang dikuasainya. (Pasal 375 KUHP).[3]

5) Tindak Pidana Penggelapan Dalam Keluarga

Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”)  mengatur tentang tindak pidana penggelapan.

Bagi tindak pidana penggelapan ini berlaku ketentuan dalam Pasal 367 KUHP, yaitu:
1)     Jika pembuat atau pembantu dari salah satu kejahatan dalam bab ini adalah suami (istri) dan orang yang terkena kejahatan dan tidak terpisah meja dan ranjang atau
terpisah harta kekayaan, maka terhadap pembuat atau pembantu itu tidak mungkin diadakan tuntutan pidana.
2)     Jika dia adalah suami (istri) yang terpisah meja dan ranjang atau terpisah harta kekayaan, atau jika dia adalah keluarga sedarah atau semenda, baik dalam garis lurus maupun garis menyimpang derajat kedua, maka terhadap orang itu hanya mungkin diadakan penuntutan jika ada pengaduan yang terkena kejahatan.
3)     Jika menurut lembaga matriarkal, kekuasaan bapak dilakukan oleh orang lain daripada bapak kandung (sendiri), maka ketentuan ayat di atas berlaku juga bagi orang itu.
Sehingga, dari ketentuan di atas dapat kita lihat bahwa dalam hal penggelapan dilakukan oleh suami/istri yang tidak terpisah meja, ranjang maupun harta kekayaannya, maka tidak dapat dilakukan penuntutan terhadap pelaku.
Sedangkan, bila penggelapan dilakukan oleh suami/istri yang melakukan pisah meja, ranjang atau harta kekayaan atau apabila pelakunya merupakan keluarga sedarah atau semenda baik dalam garis lurus maupun garis menyimpang derajat kedua, maka terhadap pelaku tersebut hanya dapat dilakukan penuntutan bila pihak yang dirugikan (yang hartanya digelapkan) mengadukannya ke pihak kepolisian. Misalnya, seorang anak yang menggelapkan barang ayahnya atau keponakan yang menggelapkan barang pamannya. Ketentuan tersebut berlaku baik dalam adat istiadat patriarkal maupun matriarkal. Dalam kondisi-kondisi tersebut berarti berlaku delik aduan.
Delik aduan artinya delik yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana. Menurut Mr. Drs. E Utrecht dalam bukunya “Hukum Pidana II”, dalam delik aduan penuntutan terhadap delik tersebut digantungkan pada persetujuan dari yang dirugikan (korban). Pada delik aduan ini, korban tindak pidana dapat mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang apabila di antara mereka telah terjadi suatu perdamaian.
Namun, perlu digaris bawahi bahwa tindak pidana penggelapan merupakan delik aduan hanya dalam lingkup keluarga (sebagaimana telah kami jelaskan di atas). Dalam hal tindak pidana penggelapan dilakukan di luar lingkup keluarga tersebut, tindak pidana penggelapan bukanlah merupakan delik aduan. Sehingga, meskipun laporan di kepolisian kemudian dicabut oleh korban, proses penuntutan akan terus berjalan. Hal ini sesuai dengan tujuan hukum acara pidana untuk mencari kebenaran materiil yaitu kebenaran yang sesungguhnya mengenai siapa pelaku tindak pidana yang sesungguhnya yang seharusnya dituntut dan didakwa.
Dan dalam hal pengaduan telah dilakukan, namun kemudian korban hendak mencabut pengaduannya (dalam hal korban termasuk lingkup keluarga sebagaimana tersebut dalam Pasal 367 KUHP), maka pengaduan dapat ditarik kembali/dicabut dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah pengaduan diajukan (lihat Pasal 75 KUHP).
Jadi, pencabutan laporan/pengaduan di kepolisian tidak akan menghentikan penuntutan terhadap tindak pidana penggelapan, kecuali hal tersebut terjadi dalam lingkup keluarga seperti yang telah kami paparkan di atas.  
2.3  Unsur-Unsur Pasal Tindak Pidana Penggelapan
Penggelapan terdapat unsur-unsur Objektif  meliputi perbuatan memiliki, sesuatu benda, yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, yang berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, dan unsur-unsur Subjektif meliputi penggelapan dengan sengaja dan penggelapan melawan hukum. Pasal-Pasal penggelapan antara lain :
1)   Pasal 372 KUHP Penggelapan Biasa
a. Dengan sengaja memiliki.
b. Memiliki suatu barang.
c. Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik orang lain.
d. Mengakui memiliki secara melawan hukum.
e. Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.
Hukuman : Hukuman penjara selama-lamanya 4 tahun.
2)   Pasal 373 KUHP Penggelapan Ringan
a. Dengan sengaja memiliki.
b. Memiliki suatu bukan ternak.
c. Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik orang lain.
d. Mengakui memiliki secara melawan hukum
e. Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.
f. Harganya tidak lebih dari Rp. 25,-
Hukuman : Hukuman penjara selama-lamanya 3 bulan.
3)   Pasal 374 dan KUHP Penggelapan dengan Pemberatan
a. Dengan sengaja memiliki.
b. Memiliki suatu barang.
c. Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik orang lain.
d. Mengakui memiliki secara melawan hukum.
e. Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.
f. Berhubung dengan pekerjaan atau jabatan.
Hukuman : Hukuman penjara selama-lamanya 5 tahun.
4)   Pasal 375 KUHP Penggelapan oleh Wali dan Lain-lain
a. Dengan sengaja memiliki.
b. Memiliki suatu barang.
c. Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik orang lain.
d. Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.
e. Terpaksa disuruh menyimpan barang.
f. Dilakukan oleh wali, atau pengurus atau pelaksana surat wasiat, atau pengurus lembaga sosial atau yayasan.
Hukuman : Hukuman penjara selama-lamanya 6 tahun.
Penggelapan yang ada pada pasal 375 ini adalah beradanya benda objek Penggelapan di dalam kekuasaan pelaku disebabkan karena: Terpaksa disuruh menyimpan barang itu, ini biasanya disebabkan karena terjadi kebakaran, banjir dan sebagainya. Kedudukan sebagai seorang wali (voogd); Wali yang dimaksudkan di sini adalah wali bagi anak-anak yang belum dewasa. Kedudukan sebagai pengampu (curator); Pengampu yang dimaksudkan adalah seseorang yang ditunjuk oleh hakim untuk menjadi wali bagi seseorang yang sudah dewasa, akan tetapi orang tersebut dianggap tidak dapat berbuat hukum dan tidak dapat menguasai atau mengatur harta bendanya disebabkan karena ia sakit jiwa atau yang lainnya.
Kedudukan sebagai seorang kuasa (bewindvoerder); Seorang kuasa berdasarkan BW adalah orang yang ditunjuk oleh hakim dan diberi kuasa untuk mengurus harta benda seseorang yang telah ditinggalkan oleh pemiliknya tanpa menunjuk seorang wakil pun untuk mengurus harta bendanya itu. Kedudukan sebagai pelaksana surat wasiat; Yang dimaksud adalah seseorang yang ditunjuk oleh pewaris di dalam surat wasiatnya untuk melaksanakan apa yang di kehendaki oleh pewaris terhadap harta kekayaannya. Kedudukan sebagai pengurus lembaga sosial atau yayasan.
5)   Pasal 376 KUHP Penggelapan dalam Keluarga
a. Dengan sengaja memiliki.
b. Memiliki suatu barang.
c. Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik orang lain.
d. Mengakui memiliki secara melawan hukum.
e. Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.
f. Penggelapan dilakukan suami (isteri) yang tidak atau sudah diceraikan atau sanak atau keluarga orang itu karena kawin.
Hukuman : Hanya dapat dilakukan penuntutan, kalau ada pengaduan dari orang yang dikenakan kejahatan itu.
Tindak pidana penggelapan dalam keluarga disebut juga delik aduan relatif dimana adanya aduan merupakan syarat untuk melakukan penuntutan terhadap orang yang oleh pengadu disebutkan namanya di dalam pengaduan. Dasar hukum delik ini diatur dalam pasal 376 yang merupakan rumusan dari tindak pidana pencurian dalam kelurga sebagaimana telah diatur dalam pembahasan tentang pidana pencurian, yang pada dasarnya pada ayat pertama bahwa keadaan tidak bercerai meja dan tempat tidur dan keadaan tidak bercerai harta kekayaan merupakan dasar peniadaan penuntutan terhadap suami atau istri yang bertindak sebagai pelaku atau yang membantu melakukan tindak pidana penggelapan terhadap harta kekayaan istri dan suami mereka. Pada ayat yang kedua, hal yang menjadikan penggelapan sebagai delik aduan adalah keadaan di mana suami dan istri telah pisah atau telah bercerai harta kekayaan.
Alasannya, sama halnya dengan pencurian dalam keluarga yang dilakukan oleh suami atau istri terhadap harta kekayaan suami mereka, yaitu bahwa kemungkinan harta tersebut adalah harta bersama yang didapat ketika hidup bersama atau yang lebih dikenal dengan harta gono-gini yang mengakibatkan sulitnya membedakan apakah itu harta suami atau harta istri.
Oleh karena itu, perceraian harta kekayaan adalah yang menjadikan tindak pidana penggelapan dalam keluarga sebagai delik aduan.[4] Tindak pidana  Penggelapan dalam lingkungan keluarga dapat diadili jika kejahatan tersebut diadukan oleh keluarga yang bersengketa.

Sabtu, 22 September 2018

Refrensi Hukum Penyertaan (Deelneming)


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pada saat ini banyak sekali terdapat kasus dimana pelakunya lebih dari satu orang, yang terjadi di masyarakat kita. Dalam beracara, hakim menjatuhkan pidana atas suatu perkara. Hakim mendasarkan putusannya selain pada undang – undang juga mempertimbangkan tuntutan dari jaksa penuntut umum.
Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan dilarang yang disertai ancaman pada barang-barang siapa yang melanggar larangan
tersebut,wadah tidak pidana ialah undang-undang,baik berbentuk kodefikasi yakni KUHP dan diluar kodefikasi yang tersear luas dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Penyertaan atau dalam bahasa Belanda Deelneming di dalam hukum Pidana Deelneming dipermasalahkan karena berdasarkan kenyataan sering suatu delik dilakukan bersama oeleh beberapa orang,jika hanya satu orang yang melakukan delik,pelakunya disebut Alleen dader.

            Dalam makalah ini kami menjelaskan beberapa bahasan tentan pengertian , peraturan dalam KUHP yang mengatur tentang hal tersebut serta bentuk , sifat dan contoh kasusnya dalam kehiduapan masyarakat .





B.    Rumusan Masalah

·         Apa pengertian delneming secara umum ?
·         Apa landasan atau dasar hukum dari delneming ?
·         saja bentuk bentuk delneming ?
·         Bagaimana contoh kasus delneming berdasarkan bentuk bentuk atau macam macam jenis delneming



C.     Tujuan penulisan

Ø  Untuk melengkapi tugas kelompok Hukum Pidana
Ø  Untuk mengetahui pengertian delneming
Ø  Untuk mengetahui dasar hukum delneming
Ø  Untuk memahami bentuk bentuk delneming
Ø  Untuk mengetahui contoh contoh kasus dalam kehidupan sehari hari yang termasuk delneming .












BAB III
PEMBAHASAN
A.    Pengertian deelneming atau keturutsertaan (penyertaan)
Penyertaan adalalah perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh lebih dari satu orang yang saling terkait dan secara sadar menegetahuai apa yang dilakukan,tetapi ada juga yang dikarenakan unsur paksaan. Penyertaan di atur dalam pasal 55 dan pasal 56 KUHp yang berarti bahwa ada dua orang atau lebih yang melakukan suatu tindak pidana atau dengan perkataan ada dua orang atau lebih mengambil bagian untuk mewujudkan suatu tindak pidana dapat di sebutkan bahwa seseorang tersebut turut serta dalam hubungannya dengan orang lain[1]
Prof.Satochid Kartanegara mengartikan Deelneming apabila dalam satu delik tersangkut beberapa orang atau lebih dari satu orang. Menurut doktrin, Deelneming menurut sifatnya terdiri atas : [2]
a.       Deelneming yang berdiri sendiri,yakni pertanggung jawaban dari setiap peserta dihargai sendiri-sendiri
b.      Deelneming yang tidak berdiri sendiri,yakni pertanggungjawaban dari peserta yang satu digantunggkan dari perbuatan peserta yang lain.









B.    Deelneming ( penyertaan ) di atur dalam pasal 55 dan 56 KUHP

Pasal 55 KUHP berbunyi [3] :
(1) “Dihukum sebai pelaku-pelaku dari suatu tindak pidana yaitu:
1.          Mereka yang melakukan, menyuruh melakukan atau turut melakukan.
2. Mereka yang dengan pemberian-pemberian, janji-janji, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau keterpandangan, dengan kekerasan, ancaman atau dengan menimbulkan kesalahpahaman atau dengan memberikan kesempatan, sarana-sarana atau keterangan-keterangan, dengan sengaja telah menggerakan orang lain untuk melakuakn tindak pidana yang bersangkutan

(2) Mengenai mereka yang disebutkan terakhir ini yang dapat dipertanggungjawabkan kepada mereka itu hanyalah tindakan-tindakan yang dengan sengaja telah mereka gerakkan untuk dilakukan oleh orang lain, berikut akibat-akibatnya.

Sedangkan ketentuan pidana seperti yang telah diatur didalam Pasal 56 KUHP adalah sebagai berikut:
“Dihukum sebagai pembantu-pembantu didalam suatu kejahatan, yaitu :
1.    Mereka yang dengan sengaja telah memberikan bantuan dalam melakukan kejahatan tersebut.
2.    Mereka yang dengan sengaja telah memberikan kesempatan, sarana-saran atau keterangan-keterangan untuk melakukan kejahatan tersebut.”




C.   Bentuk-bentuk DEELNEMING

Bentuk-bentuk deelneming atau keturutsertaan yang ada menurut ketentuan-ketentuan pidana dalam pasal-pasal 55 dan 56 KUHP itu adalah:

1.      Pleger  atau Orang  yang  melakukan 
2.      Doen plegenatau menyuruh melakukan atau yang didalam doktrin juga sering disebut sebagai middellijk daderschap;

3.      Medeplegenatau turut melakukan ataupun yang didalam doktrin juga sering disebut sebagai mededaderschap

4.      Uitlokkingatau menggerakkan orang lain

5.      Medeplichtigheidatau pembantu



1.      Pleger  atau Orang  yang  melakukan 
Orang yang memenuhi semua unsur delik sebagaimana di rumuskan oleh undang- undang,baik unsur subjektif maupun objektif,Umumnya pelaku dapat diketahui dari jenis delik yakni delik formil dan delik materil.





2.      Doen plegenatau menyuruh melakukan
Di dalam ilmu hukum pidana, orang yang menyuruh orang lain melakukan suatu tindak pidana itu biasanya disebut sebagai orang middellijk dader atau seorang mettelbare tater, yang artinya seorang pelaku tidak langsung. Ia disebut pelaku tidak langsung karena ia memang secara tidak langsung melakukan sendiri tindak pidana, malinkan dengan perantara orang lain.

Menurut ketentuan pidana di dalam pasal 55 KUHP, seorang middelijke dader atau seorang pelaku tidak langsung itu dapat dijatuhi hukuman yang sama beratnya dengan hukuman yang dapat dijatuhkan kepada pelakunya sendiri, dan dalam hal ini yaitu hukuman yang dapat dijatuhkan kepada pelaku materialnya itu sendiri.

Oleh karena dalam bentuk deelneming doen plegen ini selalu terdapat seorang middelijke dader, maka bentuk deelneming ini juga sering disebut sebagai suatu middelijke daderschap.

Untuk adanya suatu doen plegen seperti yang dimaksudkan di dalam pasal 55 ayat 1 angka 1 KUHP itu, orang yang disuruh melakukan itu haruslah memenuhi beberapa syarat tertentu yaitu:

1. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu adalah seseorang yang ontoerekeningvatbaar seperti yang dimaksudkan didalam pasal 44 KUHP
2. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana mempunyai suatu dwaling atau suatu kesalahpahaman mengenai salah satu unsur dari tindak pidana yang bersangkutan
3. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindakpidana itu sama sekali tidak mempunyai unsur schuld, baik dolus maupun culpa, ataupun apabila orang tersebut tidak memenuhi unsur opzet seperti yang tela disyaratkan oleh undang-undang bagi tindak pidana tersebut
4. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu memenuhi unsur oogmerk, padahal unsur tersebut telah disyaratkan didalam rumusan undang-undang mengenai tindak pidana tersebut diatas
5. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu telah melakukannya dibawah pengaruh suatu overmacht atau dibawah pengaruh suatu keadaan yang memaksa, dan terhadap paksaan mana orang tersebut tidak mampu memberikan suatu perlawanan
6. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana dengan itikad baik telah melaksanakan suatu perintah jabatan, padahal perintah jabatan tersebut diberikan oleh seorang atasan yang tidak berwenang memberikan perintah semacam itu
7. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu tidak mempunyai suatu hoedanigheid atau suatu sifat tertentu, seperti yang telah disyaratkan oleh undang-undang, yakni sebagai suatu sifat yang harus dimiliki oleh pelakunya sendiri.
Untuk adanya suatu doen plegen itu adalah tidak perlu, bahwa orang yang telah menyuruh melakukan itu harus secara tegas memberikan perintahnya kepada orang yang telah disuruhnya melakukan sesuatu
Untuk adanya suatu doen plegen itu adalah juga tidak perlu, bahwa suruhan untuk melakukan suatu tindak pidana itu harus diberikan secara langsung untuk middelijke dader kepada orang materieele dader. Melainkan ia dapat juga diberikan dengan perantaraan orang lain.




3.      Medeplegenatau turut melakukan

Medeplegen disamping merupakan suatu bentuk deelneming, maka ia juga merupakan suatu bentuk daderschap. Apabila seseorang itu melakukan suatu tindak pidana, maka biasanya ia disebut sebagai seorang dader atau seorang pelaku. Apabila beberapa orang yang secara bersama-sama melakukan suatu tindak pidana, maka setiap peserra didalam tindak pidana itu dipandang sebagai seorang mededader dari peserta atau peserta lainnya.

Misalnya tiga orang secara bersama-sama telah melakukan pelanggaran dengan bersepeda secara berjejer diatas jalan umum, yang oleh pembentuk undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang terlarang dan diancam dengan hukuman.

Menurut Prof. Lamintang, hakim tidak perlu menyebutkan secara tegas bentuk-bentuk keturutsertaan yang telah dilakukan oleh seorang tertuduh, oleh karena pencantuman dari peristiwa yang sebenarnya telah terjadi itu sendiri sebenarnya telah menunjukkan bentuk ketrutsertaan yang dilakukan oleh masing-masing peserta didalam suatu tindak pidana yang telah mereka lakukan.[4]

Menurut van Hamel, suatu medeplegen itu hanya dapat dianggap sebagai ada, yaitu apabila tindakan tiap-tiap peserta didalam suatu tindak pidana dapat dianggap sebagai telah menghasilkan suatu dadrschap secara sempurna.

Menurut Prof. Van Hattum, perbuatan medepelegen didalam pasal 55 KUHP itu haruslah diartikan sebagai suatu opzettelijk medeplegen atau suatu kesengajaan untuk turut melakukan suatu tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain.

Ini berarti bahwa suatu kesengajaan untuk turut melakukan suatu culpoos delict itu dapat dihukum dan sebaliknya suatu ketidaksengajaan turut melakukan sesuatu opzetettelijk atau suatu culpos delict itu menjadi tidak dapat dihukum.

Ini berarti bahwa menurut Prof. Van Hattum opzet seorang medeplegen itu harus ditujukan kepada :

a. Maksud untuk bekerjasama dengan orang lain dalam melakukan suatu tindak pidana dan

b. Dipenuhinya semua unsur dari tindak pidana tersebut yang diliputi oleh unsur opzet yang harus dipenuhi oleh pelakunya sendiri, yakni sesuai dengan yang disyaratkan dalam rumusan tindak pidana yang bersangkutan.

Menurut Prof. Legemeijer, baik orang yang mempunyai opzet untuk membunuh koraban, maupun orang yang turut melakukan dengan maksud semata-mata menganiaya koraban itu kedua-duanya harus dipersalahkan telah turut melakukan suatu penganiayaan berat yang menyebabkan matinya oranglain.

Sebagai alasan telah dikemukakannya bahwa bentuk-bentuk daderschap yang disebutkan dalam pasal 55 KUHP itu harus ditafsirkan sedemikian rupa, sehingga bentuk-bentuk daderschap tersebut harus disamakan dengan plegen.

Menurut Prof. Van Hattum, untuk adanya suatu medeplegen itu tidak diperlkan adanya suatu kesamaan opzet pada masing-masing peserta kejahatan.

Perbedaan medeplegen dengan medeplichtigheid disebutkan dalam Memorie van toechlichting : “Yang membedakan seorang yang turut melakukan dari seorang yang membantu melakukan itu adalah, bahwa orang yang disebutkan pertama itu secara langsung telah ikut mengambil bagian dalam pelaksanaan suatu tindak pidana yang telah diancam dengan suatu hukuman oleh undang-undang, atau telah secara langsung turut melakukan suatu perbuatan atau turut melakukan perbuatan untuk menyelesaikan tindak pidana yang bersangkutan; sedang orang yang disebutkan terakhir itu hanyalah memberikan bantuan untuk melakukan perbuatan”.

Kedua bentuk ini mempunyai akibat yang berbeda-beda, yaitu dihubungkan dengan jenis delik yang dapat menjadi objek dari kedua bentuk deelneming tersebut. Pada medeplegen yang dapat dihukum adalah turut melakukan baik kejahatan maupun pelanggaran, sedang pada medeplichtigheid itu yang dapat dihukum hanyalah membantumelakukan kejahatan saja. Oleh karena menurut pasal 60 KUHP itu, perbuatan membantu melakukan pelanggaran dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang tidak dapat dihukum.

Dewasa ini sudah tidak lagi menjadi persoalan, apakah orang yang tidak mempunyai suatu “persoonlijke hoedanigheid” atau suatu “sifat pribadi” itu dapat turut melakukan suatu Kwaliteitsdelict atau tidak, oleh karena menurut paham yang terbaru, seseorang yang tidak mempunyai kualitas tertentu yang oleh undang-undang telah disyaratkan harus dimiliki oleh pelakunya itu, dapat saja turut melakukan apa yang disebut kwaliteits delicten, hanya saja dengan satu syarat, yaitu bahwa mereka itu mengetahui bahwa rekan pesertanya didalam melakukan suatu kwaliteitsdelict itu memiliki kualitas seperti itu.

Bagi suatu medeplegen, seperti halnya dengan suatu poging, diperlukan adanya suatu begin van uitvoering atau suatu permulaan pelaksanaan, walaupun undang-undang sendiri telah mensyaratkan hal tersebut secara tegas.

4.      Uitlokkingatau menggerakkan orang lain
            Uitlokking atau mereka yang menggerakkan untuk melakukan suatu tindakan dengan daya – upaya tertentu, adalah bentuk penyertaan penggerakkan yang inisiatif berada pada penggerak. Dengan perkataan lain, suatu tindak pidana tidak akan terjadi bila inisiatif tidak ada pada penggerak. Karenanya penggerak harus dianggap sebagai petindak dan harus dipidana sepadan dengan pelaku yang secara fisik menggerakkan. Tidak menjadi persoalan apakah pelaku yang digerakkan itu sudah atau belum mempunyai kesediaan tertentu sebelumnya untuk melakukan tindak pidana.[5]




Syarat – syarat dalam bentuk penyertaan penggerak:

1. Kesengajaan penggerak ditujukan agar suatu tindakan tertentu dilakukan oleh pelaku yang digerakkan.

Tujuan penggerakan itu adalah terwujudnya suatu tindak pidana tertentu. Ini berarti apabila yang dilakukan oleh pelaku yang digerakkan adalah tindak pidana lain, maka penggerak bukan merupakan petindak. Harus ada hubungan kausal antara kesengajaan dengan tindak pidana yang terjadi.

Menurut undang – undang secara harafiah tidak ada pengaruh dari kesengajaan yang ada pada penggerak, selama orang yang digerakkan tidak melakukan tindakan yang digerakkan atau selama tindakannya hanya sampai pada persiapan-pelaksanaan. Kesengajaan penggerak mempunyai pengaruh melalui pasal 163 bis hanya dalam hal tindakan yang digerakkan merupakan kejahatan. Bilamana tindakan yang digerakkan itu adalah pelanggaran, maka penggerak tidak dapat dipidana.

2. Daya upaya untuk menggerakkan adalah tertentu sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang.

Daya-upaya untuk menggerakkan adalah tertentu sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang yaitu suatu pemberian, suatu perjanjian, penyalahgunaan kekuasaan, kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan pemberian kesempatan, sarana atau keterangan.

a) Pemberian dan perjanjian, dirumuskan tanpa memberikan suatu pembatasan. Pengertiannya menjadi luas yaitu dapat berbentuk uang atau benda, bahkan di luar bentuk uang atau benda seperti misalnya jabatan, kedudukan atau lebih luas lagi yaitu suatu janji yang akan membantu si tergerak baik secara material maupun secara moril untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dan lain sebagainya.

b) Penyalahgunaan kekuasaan, bukan saja terbatas pada kekuasaan yang ada padanya karena jabatan, tetapi juga meliputi kekuasaan yang dimiliki oleh penggerak secara langsung terhadap si tergerak, seperti hubungan kekeluargaan, pekerjaan, pendidikan, kepercayaan, dan sebagainya. Ini harus dibedakan dengan perintah jabatan yang termaksud pada pasal 52 KUHP. jika pada perintah jabatan perbuatan tersebut termasuk wewenang dari penguasa, maka pada penyalahgunaan kekuasaan tidak dipersyaratkan bahwa perintah itu termasuk tindakan yang benar-benar diharuskan dalam rangka kekuasaan yang disalahgunakan itu.

c) Penyalahgunaan martabat, merupakan suatu kekhususan di Indonesia yang ditambah dalam KUHP yang di dalam W.v.S tidak ada. Contohnya adalah kepala suku yang dipatuhi karena disegani.

d) Kekerasan, di sini harus sedemikian ringan sehingga tidak merupakan suatu alasan untuk meniadakan unsur kesalahan/kesengajaan dari si tergerak (pasal 48 daya paksa) yang mengakibatkan tidak dipidananya si tergerak. Batas yang tegas antara kekerasan yang dimaksud di pasal 48 dan menurut pasal 55 agak sukar ditentukan, karena undang – undang juga tidak menentukan. Perbatasan ini lebih diserahkan kepada penafsiran, yang sedemikian ringan sehingga menurut perhitungan layak, si tergerak mampu mengelak atau menolak untuk melakukan tindak pidana yang digerakkan. Misal, seorang wanita mendorong-dorong pacarnya untuk memukul bekas tunangannya yang pernah menyakiti hatinya.

e) Ancaman, tidak terbatas pada ancaman kekerasan seperti di atas, tetapi meluas juga sampai pada ancaman penghinaan, ancaman pembukaan rahasia pribadi, ancaman akan memecat atau menyisihkan dari suatu pergaulan, ancaman akan mengurangi hak/kewenangan tertentu, dan lain sebagainya.

f) Penyesatan, ada juga yang menyebutnya tipu-daya, tetapi agar tidak disamakan dengan penipuan dan kejahatan tipu-daya maka lebih baik disebut penyesatan. Yang dimaksud penyesatan ialah agar supaya seseorang tergerak hatinya untuk cenderung melakukan suatu tindakan sebagaimana yang digerakkan oleh penggerak. Unsur kesengajaan harus ada pada orang yang digerakkan. Contohnya A bilang pada B bahwa C telah menjelekkan nama B, yang sesungguhnya tidak benar, karenanya B jadi marah dan memukul C. Akibat dari penyesatan adalah untuk menimbulkan ketegangan dalam hati orang lain yang dapat berupa iri hati, pembangkitan dendam terpendam, kebencian, amarah dan sebagainya sehingga ia cenderung untuk melakukan suatu tindakan tetapi dalam batas-batas bahwa ia sesungguhnya masih dapat mengendalikan diri sendiri.

g) Pemberian kesempatan, sarana atau ketenangan, adalah merupakan cara untuk menggerakkan seseorang yang ketentuannya baru ditambah tahun 1925 dalam KUHP. Dalam pasal 56 ke-2 yang berbunyi ”mereka yang sengaja memberikan kesempatan, saran, atau keterangan untuk melakukan kejahatan”, kadang agak sulit dibedakan dengan pasal 55.

Contoh: A memberi kesempatan (sarana/keterangan) kepada B, kemudian B melakukan suatu tindak pidana, maka sehubungan dengan pasal 55 dan 56 tersebut perbedaannya terletak pada:

· Jika pada A, keinginan atau kehendak untuk melakukan suatu tindak pidana tertentu sudah ada sejak pertama kali, sedangkan pada B baru ada setelah ia digerakkan dengan pemberian kesempatan (sarana/keterangan) dan lalu b melakukan tindak pidana, maka kita berbicara mengenai bentuk penyertaan penggerak (pasal 55). Dalam hal ini A adalah penggerak dan B yang digerakkan. Tetapi jika pada B sejak semula sudah ada kehendak untuk melakukan suatu tindak pidana tertentu dan ia minta kesempatan dan sebagainya dari A, di mana A sengaja memberikannya dan diketahui bahwa kesempatan itu diperlukan oleh B untuk melakukan suatu pidana tertentu, maka kita berbicara mengenai bentuk penyertaan pembantuan (pasal 56). Dalam hal ini A adalah pembantu dan B petindak/pelaku.

· Dalam kasus tersebut di atas, apakah B sebagai tergerak atau sebagai petindak (pelaku) ancaman pidananya adalah sama, yaitu dipidana (sama) sebagai petindak (dader), tetapi bagi A tidak demikian, karena dalam hal bentuk penyertaan penggerakan ia dipidana sebagai petindak, tetapi dalam hal bentuk penyertaan pembantuan ia dipidana sebagai pembantu – petindak yang ancaman pidana maksimumnya dikurangi dengan sepertiganya.

3. Adanya orang yang digerakkan, dan telah melakukan suatu tindakan karena daya-upaya tersebut.

Dalam penyertaan pergerakan harus selalu ada orang yang digerakkan baik langsung maupun tidak langsung. Hubungan antara penggerak dengan orang lain itu tidak harus selalu langsung. Misalnya begini, A menggerakkan B dan kemudian pada waktu dan tempat yang terpisah B bersama – sama C melakukan tindakan yang dikehendaki oleh A. Dalam hal ini A tetap dipertanggungjawabkan sebagai penggerak dari B maupun C. C dianggap telah turut tergerak melakukan tindakan tersebut karena daya upaya A.

4. pelaku yang digerakkan harus telah melakukan tindak pidana yang digerakkan atau percobaan untuk tindak pidana tersebut.

Hubungan kausal antara daya-upaya yang digunakan dan tindak pidana yang dilakukan harus ada. Artinya justru si tergerak itu tergerak hatinya untuk melakukan tindak pidana adalah karena daya – upaya dari penggerak. Tindak pidana yang dikehendaki oleh penggerak harus benar – benar terjadi. Seandainya tindakan tergerak hanya sampai pada suatu tingkat percobaan yang dapat dihukum saja dari tindak pidana yang dikehendaki penggerak, maka penggerak sudah dapat dipidana menurut pasal 55 ayat (2).

5.      Medeplichtigheidatau pembantu

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 56 KUHP, pembantuan ada 2 (dua) jenis, yaitu :

Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan. Cara bagaimana pembantuannya tidak disebutkan dalam KUHP. Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan ini mirip dengan turut serta (medeplegen), namun perbedaannya terletak pada :

1. Pada pembantuan perbuatannya hanya bersifat membantu atau menunjang, sedang pada turut serta merupakan perbuatan pelaksanaan.

2. Pada pembantuan, pembantu hanya sengaja memberi bantuan tanpa diisyaratkan harus kerja sama dan tidak bertujuan atau berkepentingan sendiri, sedangkan dalam turut serta, orang yang turut serta sengaja melakukan tindak pidana, dengan cara bekerja sama dan mempunyai tujuan sendiri.

3. Pembantuan dalam pelanggaran tidak dipidana (Pasal 60 KUHP), sedangkan turut serta dalam pelanggaran tetap dipidana.

4. Maksimum pidana pembantu adalah maksimum pidana yang bersangkutan dikurangi 1/3 (sepertiga), sedangkan turut serta dipidana sama.

· Pembantuan sebelum kejahatan dilakukan, yang dilakukan dengan cara memberi kesempatan, sarana atau keterangan. Pembantuan dalam rumusan ini mirip dengan penganjuran (uitlokking). Perbedaannya pada niat atau kehendak, pada pembantuan kehendak jahat pembuat materiel sudah ada sejak semula atau tidak ditimbulkan oleh pembantu, sedangkan dalam penganjuran, kehendak melakukan kejahatan pada pembuat materiel ditimbulkan oleh si penganjur.

Berbeda dengan pertanggungjawaban pembuat yang semuanya dipidana sama dengan pelaku, pembantu dipidana lebih ringan dari pada pembuatnya, yaitu dikurangi sepertiga dari ancaman maksimal pidana yang dilakukan (Pasal 57 ayat (1) KUHP). Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, pembantu dipidana penjara maksimal 15 tahun. Namun ada beberapa catatan pengecualian :












1. Pembantu dipidana sama berat dengan pembuat, yaitu pada kasus tindak pidana :

· Membantu merampas kemerdekaan (Pasal 333 ayat (4) KUHP) dengan cara memberi tempat untuk perampasan kemerdekaan,

· Membantu menggelapkan uang atau surat oleh pejabat (Pasal 415 KUHP),

· Meniadakan surat-surat penting (Pasal 417 KUHP).

2. Pembantu dipidana lebih berat dari pada pembuat, yaitu dalam hal melakukan tindak pidana :

Membantu menyembunyikan barang titipan hakim (Pasal 231 ayat (3) KUHP).
Dokter yang membantu menggugurkan kandungan (Pasal 349 KUHP)
Perlu diketahui bahwa disamping bentuk keturutsertaan diatas itu, KUHP kita masih mengenal 2 bentuk keturutsertaan lainnya, masing-masing:
a. Samenspanning atau permufakatan jahat sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 88 KUHP dan
b. Deelneming aan eene vereniging die tot oogmerk heft het plegen van misdrijven atau keturutsertaan dalam suatu kumpulan yang bertujuan melakukan kejahatan-kejahatan sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 169 KUHP.





[1]Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia, Refika Aditama Bandung 2011, hlm 174
[2] Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah bagian satu, Balai Lektur Mahasiswa , hlm. 497 - 498
[3] Moeljatno, Kitab Undang Undang Hukum Pidana Jakarta: Bumi Aksara, 2003,  ketentuan pasal 55 dan 56
[4] Drs. P.A.F.Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, 1997, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 615-633
[5] E.Y. Kanter, S.H., dan S.R. Sianturi, S.H., Asas – Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, 2002. hlm 350-359

SURAT KUASA MEDIASI

                                                               SURAT KUASA MEDIASI Yang bertanda tangan di bawah ini : xxxxxxxx ...