Minggu, 23 September 2018

Refrensi hukum Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan

Refrensi hukum Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan

v  Pasal 372 KUHP (Wetboek van Strafrecht) tentang Penggelapan
“Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai milik sendiri (zich toeeigenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam, karena penggelapan, dengan pidana paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak enam puluh rupiah.”
Unsur-unsur Pasal 372 KUHP (Wetboek van Strafrecht) :
1.    Barangsiapa;
2.    Dengan sengaja;
3.    Melawan hukum (wederrechttelijk) mengaku sebagai milik sendiri (zich toeeigenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain (enig goed dat geheel of ten dele aan een ander toebehoort);
4.    Yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan (anders dan door misdrijf onder zich hebben).
1)   Unsur “Barangsiapa”
Unsur (bestandeel)  barangsiapa ini menunjuk kepada pelaku/ subyek tindak pidana, yaitu orang dan korporasi. Unsur barang siapa ini menunjuk kepada subjek hukum, baik berupa orang pribadi (naturlijke persoon) maupun korporasi atau badan hukum (recht persoon), yang apabila terbukti memenuhi unsur dari suatu tindak pidana, maka ia dapat disebut sebagai pelaku atau dader.
Bahwa, menurut Prof. Sudikno Mertokusumo :
“Subyek hukum (subjectum juris) adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh, mempunyai atau menyandang hak dan kewajiban dari hukum, yang terdiri dari :
·         orang (natuurlijkepersoon);
·         badan hukum (rechtspersoon).”
(Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, 1999, h. 12, 68-69)
Menurut Simons, merumuskan strafbaar feit atau delik sebagai berikut :
eene starfbaar gestelde, onrechtmatige. Met schuld in verband staande, van een toekeningsvatbaar persoon
Artinya : Suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan pidana, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seseorang yang bersalah dan orang itu dipandang bertanggungjawab atas perbuatannya.
(Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2005, h. 98)
2)   Unsur “Dengan sengaja”
Bahwa, salah satu unsur yang terdapat dalam Pasal 372 KUHP (Wetboek van Strafrecht) ialah unsur “dengan sengaja (opzettelijk)”, dimana unsur ini merupakan unsur subjektif dalam tindak pidana penggelapan, yakni unsur yang melekat pada subjek tindak pidana, ataupun yang melekat pada pribadi pelakunya. Hal ini dikarenakan unsur “opzettelijk” atau unsur dengan sengaja” merupakan unsur dalam tindak pidana penggelapan, dengan sendirinya unsur tersebut harus dibuktikan.
Bahwa terdapat dua teori berkaitan “dengan sengaja” atau opzettelijke. Pertama, teori kehendak atau wilshtheorie yang dianut oleh Simons, dan kedua teori pengetahuan atau voorstellingstheorie yang antara lain dianut oleh Hamel.
Bahwa, maksud unsur kesengajaan dalam pasal ini, adalah seorang pelaku atau dader sengaja melakukan perbuatan-perbuatan dalam pasal 372 KUHP.
Bahwa, menurut PAF. Lamintang :
“Dalam tindak pidana (strafmaatregel) penggelapan (verduistering), agar seseorang dapat dikualifikasikan telah dengan sengaja melakukan tindakan penggelapan, maka dalam diri pelaku harus terdapat keadaan-keadaan sebagai berikut:
a.   Pelaku telah  “menghendaki” atau “bermaksud” untuk menguasai suatu benda secara melawan hukum;
b.   Pelaku “mengetahui” bahwa ia yang kuasai itu adalah sebuah benda;
c.   Pelaku “mengetahui” bahwa benda tersebut sebagian atau seluruhnya adalah kepunyaan orang lain;
d.   “mengetahui” bahwa benda tersebut berada padanya bukan karena kejahatan.”
(PAF. Lamintang, Delik-Delik Khusus : Kejahatan-Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, PT. Sinar Baru, Bandung, 1989, h. 106)
Jika “kehendak” dan “pengetahuan-pengetahuan” tersebut telah dapat dibuktikan maka baru dapat dikatakan bahwa pelaku (dader) telah memenuhi unsur dengan sengaja (opzettelijk)” yang terdapat dalam unsur tindak pidana penggelapan sebagaimana diatur dalam Pasal 372 KUHP (Wetboek van Strafrecht).
Bahwa, menurut Prof. Satochid Kartanegara, SH bersama-sama ahli hukum lainnya dalam “hukum pidana kumpulan kuliah bagian satu”, menyebutkan:
“kesengajaan (opzet) atau dolus dapat dirumuskan sebagai : melaksanakan sesuatu perbuatan, yang dilarang oleh suatu keinginan untuk berbuat atau tidak”
Bahwa, menurut Prof. Satochid Kartanegara, SH, pengertian opzet dapat dilihat dalam Memorie van Tolichting (penjelasan undang-undang), yaitu “willens en weten”, pengertian “willens en weten” adalah :
Seseorang yang melakukan sesuatu perbuatan dengan sengaja, harus menghendaki (willen) perbuatan itu, serta harus menginsyaf/ mengerti (weten) akan akibat dari perbuatannya itu
Bahwa, menurut Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung RI No. 166 K/Kr/1963, tanggal 7 Juli 1964, menjelaskan :
“pemilikan dilakukan dengan sengaja dan bahwa pemilikan itu dengan tanpa hak merupakan unsur-unsur daripada tindak pidana tersebut dalam pasal 372 KUHP”
3)   Unsur “Melawan hukum (wederrechttelijk) mengaku sebagai milik sendiri (zich toeeigenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain (enig goed dat geheel of ten dele aan een ander toebehoort)”
Bahwa, unsur lain yang terdapat pada Pasal 372 KUHP (Wetboek van Strafrecht), yaitu unsur “melawan hukum (wederrechtelijk) mengaku sebagai milik sendiri (zich toeeigenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain”.
Bahwa, maksud unsur “melawan hukum” atau wederrechtelijk adalah apabila perbuatan yang dilakukan oleh seorang pelaku atau dader bertentangan dengan norma hukum tertulis (peraturan perundang-undangan) atau norma hukum tidak tertulis (kepatutan atau kelayakan) atau bertentangan dengan hak orang lain sehingga dapat dikenai sanksi hukum.
Bahwa, perkataan “memiliki secara melawan hukum” adalah terjemahan dari perkataan “wederrechtelijk zich toeeigent”, yang menurut Memorie van Toelichting ditafsirkan sebagai:
“het zich wederrechtelijk als heer en meester gedragen ten aanzien van het goed alsof hij eigenaar is, terwijl hij het niet is”  atau “secara melawan hukum memiliki sesuatu benda seolah-olah ia adalah pemilik dari benda tersebut, padahal ia bukanlah pemiliknya”.
(P.A.F. Lamintang, C. Djisman Samosir, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, h. 155)
Menurut Hoge Raad, perbuatanzich toeeigenenadalah:
“Menguasai benda milik orang lain secara bertentangan dengan sifat daripada hak yang dimiliki oleh si pelaku atas benda tersebut.”
(P.A.F. Lamintang, C. Djisman Samosir, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, h. 155)
Menurut Prof Mr. D. Simons mengartikan “zich toeeigenen”:
“Membawa sesuatu benda di bawah kekuasaannya yang nyata sebagaiman yang dapat dilakukan oleh pemiliknya atas benda tersebut, sehingga berakibat bahwa kekuasaan atas benda itu menjadi dilepaskan dari pemiliknya”
Menurut Brigjen Drs. H.A.K. Moch. Anwar, SH, menyatakan :
“unsur melawan hukum dapat terjadi bilamana pelaku melakukan perbuatan memiliki itu tanpa hak atau kekuasaan. Ia tidak mempunyai hak untuk melakukan perbuatan memiliki, sebab ia bukan yang punya, bukan pemilik. Hanya pemilik yang mempunyai hak untuk memilikinya”
(Brigjen Drs. H.A.K. Moch. Anwar, SH, Hukum Pidana Khusus (KUHP buku II), Alumni Bandung, 1979, hlm. 37)
Menurut Munir Fuady menyatakan :
Bahwa perbuatan yang dilakukan haruslah melawan hukum, sejak tahun 1919, unsur melawan hukum ini diartikan dalam arti yang seluas-luasnya, yakni meliputi hal-hal sebagai berikut:
a.     Perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku.
b.    Yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum.
c.     Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku.
d.    Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan (goede zeden).
e.    Perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam masyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain (indruist tegen de zorgvildigheid, welke in het maatschappelijke verkeer betaamt ten aanzien van anders person of goed)
(Munir fuady, Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer), PT. Citra Aditya Bakti, bandung, 2005, Hal. 11)
4)   Yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan (anders dan door misdrijf onder zich hebben)
Bahwa, untuk menentukan terpenuhinya unsur ini, maka pelaku (dader) yang diduga telah melakukan tindak pidana (strafmaatregel) penggelapan (verduistering) harus menguasai barang tersebut bukan dengan jalan kejahatan.
Menurut Adami Chazawi mengatakan :
“Sesuatu benda berada dalam kekuasaan seseorang adalah apabila antara orang itu dengan bendanya terdapat hubungan yang sedemikian eratnya, sehingga apabila ia akan melakukan segala perbuatan terhadap benda itu ia dapat segera melakukannya secara langsung dan nyata, tanpa terlebih dulu harus melakukan perbuatan lain. Benda milik orang lain berada dalam kekuasaan seseorang bukan karena kejahatanlah yang merupakan unsur dari delik penggelapan ini, dan ini dapat terjadi oleh sebab perbuatan-perbuatan hukum seperti: penitipan, perjanjian sewa menyewa, pengancaman, dsb.”
(Adami Chazawi, Hukum Pidana III, Produksi Si Unyil, Malang, h. 12 & 15)
Menurut Brigjen Drs. H.A.K. Moch. Anwar, SH,
“barang harus seluruhnya atau sebahagian kepunyaan orang lain. Barang tidak perlu kepunyaan orang lain pada keseluruhannya”

(Brigjen Drs. H.A.K. Moch. Anwar, SH, Hukum Pidana Khusus (KUHP buku II), Alumni Bandung, 1979, hlm. 19)


2.1 Pengertian Tindak Pidana Penggelapan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Penggelapan diartikan sebagai proses, cara dan perbuatan menggelapkan (penyelewengan) yang menggunakan barang secara tidak sah.
Menurut R. Soesilo (1968.258), penggelapan adalah kejahatan yang hampir sama dengan pencurian dalam pasal 362. Bedanya ialah pada pencurian barang yang dimiliki itu belum berada di tangan pencuri dan masih harus “diambilnya” sedangkan pada penggelapan waktu dimilikinya barang itu sudah ada di tangan si pembuat tidak dengan jalan kejahatan.
Menurut Lamintang, tindak pidana penggelapan adalah penyalahgunaan hak atau penyalahgunaan kepercayaan oleh seorang yang mana kepercayaan tersebut diperolehnya tanpa adanya unsur melawan hukum.[1]
Pengertian yuridis mengenai penggelapan diatur pada Bab XXIV (buku II) KUHP, terdiri dari 5 pasal (372 s/d 376). Salah satunya yakni Pasal 372 KUHP, merupakan tindak pidana penggelapan dalam bentuk pokok yang rumusannya berbunyi: "Barang siapa dengan sengaja menguasai secara melawan hukum sesuatu benda yang seharusnya atau sebagian merupakan kepunyaan orang lain yang berada padanya bukan karena kejahatan, karena bersalah melakukan penggelapan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun atau dengan pidana denda setinggi-tingginya 900 (sembilan ratus) rupiah."[2]
Jadi, penggelapan dalam tindak pidana tersebut dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang menyimpang/menyeleweng,  menyalahgunakan kepercayaan orang lain dan awal barang itu berada ditangan bukan merupakan perbuatan yang melawan hukum, bukan dari hasil kejahatan.
2.2  Jenis-Jenis Tindak pidana Penggelapan
Berikut jenis-jenis tindak pidana penggelapan berdasarkan Bab XXIV Pasal 372 sampai dengan 377 KUHP.
1)  Penggelapan biasa
Yang dinamakan penggelapan biasa adalah penggelapan yang diatur dalam Pasal 372 KUHP: “Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai milik sendiri (zich toeegenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
2)  Penggelapan Ringan
Pengelapan ringan adalah penggelapan yang apabila yang digelapkan bukan ternak dan harganya tidak lebih dari Rp.25. Diatur dalam Pasal 373 KUHP.
3) Penggelapan dengan Pemberatan
Penggelapan dengan pemberatan yakni penggelapan yang dilakukan oleh orang yang memegang barang itu berhubungan dengan pekerjaannya atau jabatannya atau karena ia mendapat upah (Pasal 374 KUHP).
4) Penggelapan oleh Wali dan Lain-lain.
            Penggelapan dalam lingkungan keluarga yakni penggelapan yang dilakukan dilakukan oleh orang yang karena terpaksa diberi barang untuk disimpan, atau oleh wali, pengampu, pengurus atau pelaksana surat wasiat, pengurus lembaga sosial atau yayasan, terhadap barang sesuatu yang dikuasainya. (Pasal 375 KUHP).[3]

5) Tindak Pidana Penggelapan Dalam Keluarga

Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”)  mengatur tentang tindak pidana penggelapan.

Bagi tindak pidana penggelapan ini berlaku ketentuan dalam Pasal 367 KUHP, yaitu:
1)     Jika pembuat atau pembantu dari salah satu kejahatan dalam bab ini adalah suami (istri) dan orang yang terkena kejahatan dan tidak terpisah meja dan ranjang atau
terpisah harta kekayaan, maka terhadap pembuat atau pembantu itu tidak mungkin diadakan tuntutan pidana.
2)     Jika dia adalah suami (istri) yang terpisah meja dan ranjang atau terpisah harta kekayaan, atau jika dia adalah keluarga sedarah atau semenda, baik dalam garis lurus maupun garis menyimpang derajat kedua, maka terhadap orang itu hanya mungkin diadakan penuntutan jika ada pengaduan yang terkena kejahatan.
3)     Jika menurut lembaga matriarkal, kekuasaan bapak dilakukan oleh orang lain daripada bapak kandung (sendiri), maka ketentuan ayat di atas berlaku juga bagi orang itu.
Sehingga, dari ketentuan di atas dapat kita lihat bahwa dalam hal penggelapan dilakukan oleh suami/istri yang tidak terpisah meja, ranjang maupun harta kekayaannya, maka tidak dapat dilakukan penuntutan terhadap pelaku.
Sedangkan, bila penggelapan dilakukan oleh suami/istri yang melakukan pisah meja, ranjang atau harta kekayaan atau apabila pelakunya merupakan keluarga sedarah atau semenda baik dalam garis lurus maupun garis menyimpang derajat kedua, maka terhadap pelaku tersebut hanya dapat dilakukan penuntutan bila pihak yang dirugikan (yang hartanya digelapkan) mengadukannya ke pihak kepolisian. Misalnya, seorang anak yang menggelapkan barang ayahnya atau keponakan yang menggelapkan barang pamannya. Ketentuan tersebut berlaku baik dalam adat istiadat patriarkal maupun matriarkal. Dalam kondisi-kondisi tersebut berarti berlaku delik aduan.
Delik aduan artinya delik yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana. Menurut Mr. Drs. E Utrecht dalam bukunya “Hukum Pidana II”, dalam delik aduan penuntutan terhadap delik tersebut digantungkan pada persetujuan dari yang dirugikan (korban). Pada delik aduan ini, korban tindak pidana dapat mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang apabila di antara mereka telah terjadi suatu perdamaian.
Namun, perlu digaris bawahi bahwa tindak pidana penggelapan merupakan delik aduan hanya dalam lingkup keluarga (sebagaimana telah kami jelaskan di atas). Dalam hal tindak pidana penggelapan dilakukan di luar lingkup keluarga tersebut, tindak pidana penggelapan bukanlah merupakan delik aduan. Sehingga, meskipun laporan di kepolisian kemudian dicabut oleh korban, proses penuntutan akan terus berjalan. Hal ini sesuai dengan tujuan hukum acara pidana untuk mencari kebenaran materiil yaitu kebenaran yang sesungguhnya mengenai siapa pelaku tindak pidana yang sesungguhnya yang seharusnya dituntut dan didakwa.
Dan dalam hal pengaduan telah dilakukan, namun kemudian korban hendak mencabut pengaduannya (dalam hal korban termasuk lingkup keluarga sebagaimana tersebut dalam Pasal 367 KUHP), maka pengaduan dapat ditarik kembali/dicabut dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah pengaduan diajukan (lihat Pasal 75 KUHP).
Jadi, pencabutan laporan/pengaduan di kepolisian tidak akan menghentikan penuntutan terhadap tindak pidana penggelapan, kecuali hal tersebut terjadi dalam lingkup keluarga seperti yang telah kami paparkan di atas.  
2.3  Unsur-Unsur Pasal Tindak Pidana Penggelapan
Penggelapan terdapat unsur-unsur Objektif  meliputi perbuatan memiliki, sesuatu benda, yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, yang berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, dan unsur-unsur Subjektif meliputi penggelapan dengan sengaja dan penggelapan melawan hukum. Pasal-Pasal penggelapan antara lain :
1)   Pasal 372 KUHP Penggelapan Biasa
a. Dengan sengaja memiliki.
b. Memiliki suatu barang.
c. Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik orang lain.
d. Mengakui memiliki secara melawan hukum.
e. Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.
Hukuman : Hukuman penjara selama-lamanya 4 tahun.
2)   Pasal 373 KUHP Penggelapan Ringan
a. Dengan sengaja memiliki.
b. Memiliki suatu bukan ternak.
c. Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik orang lain.
d. Mengakui memiliki secara melawan hukum
e. Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.
f. Harganya tidak lebih dari Rp. 25,-
Hukuman : Hukuman penjara selama-lamanya 3 bulan.
3)   Pasal 374 dan KUHP Penggelapan dengan Pemberatan
a. Dengan sengaja memiliki.
b. Memiliki suatu barang.
c. Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik orang lain.
d. Mengakui memiliki secara melawan hukum.
e. Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.
f. Berhubung dengan pekerjaan atau jabatan.
Hukuman : Hukuman penjara selama-lamanya 5 tahun.
4)   Pasal 375 KUHP Penggelapan oleh Wali dan Lain-lain
a. Dengan sengaja memiliki.
b. Memiliki suatu barang.
c. Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik orang lain.
d. Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.
e. Terpaksa disuruh menyimpan barang.
f. Dilakukan oleh wali, atau pengurus atau pelaksana surat wasiat, atau pengurus lembaga sosial atau yayasan.
Hukuman : Hukuman penjara selama-lamanya 6 tahun.
Penggelapan yang ada pada pasal 375 ini adalah beradanya benda objek Penggelapan di dalam kekuasaan pelaku disebabkan karena: Terpaksa disuruh menyimpan barang itu, ini biasanya disebabkan karena terjadi kebakaran, banjir dan sebagainya. Kedudukan sebagai seorang wali (voogd); Wali yang dimaksudkan di sini adalah wali bagi anak-anak yang belum dewasa. Kedudukan sebagai pengampu (curator); Pengampu yang dimaksudkan adalah seseorang yang ditunjuk oleh hakim untuk menjadi wali bagi seseorang yang sudah dewasa, akan tetapi orang tersebut dianggap tidak dapat berbuat hukum dan tidak dapat menguasai atau mengatur harta bendanya disebabkan karena ia sakit jiwa atau yang lainnya.
Kedudukan sebagai seorang kuasa (bewindvoerder); Seorang kuasa berdasarkan BW adalah orang yang ditunjuk oleh hakim dan diberi kuasa untuk mengurus harta benda seseorang yang telah ditinggalkan oleh pemiliknya tanpa menunjuk seorang wakil pun untuk mengurus harta bendanya itu. Kedudukan sebagai pelaksana surat wasiat; Yang dimaksud adalah seseorang yang ditunjuk oleh pewaris di dalam surat wasiatnya untuk melaksanakan apa yang di kehendaki oleh pewaris terhadap harta kekayaannya. Kedudukan sebagai pengurus lembaga sosial atau yayasan.
5)   Pasal 376 KUHP Penggelapan dalam Keluarga
a. Dengan sengaja memiliki.
b. Memiliki suatu barang.
c. Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik orang lain.
d. Mengakui memiliki secara melawan hukum.
e. Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.
f. Penggelapan dilakukan suami (isteri) yang tidak atau sudah diceraikan atau sanak atau keluarga orang itu karena kawin.
Hukuman : Hanya dapat dilakukan penuntutan, kalau ada pengaduan dari orang yang dikenakan kejahatan itu.
Tindak pidana penggelapan dalam keluarga disebut juga delik aduan relatif dimana adanya aduan merupakan syarat untuk melakukan penuntutan terhadap orang yang oleh pengadu disebutkan namanya di dalam pengaduan. Dasar hukum delik ini diatur dalam pasal 376 yang merupakan rumusan dari tindak pidana pencurian dalam kelurga sebagaimana telah diatur dalam pembahasan tentang pidana pencurian, yang pada dasarnya pada ayat pertama bahwa keadaan tidak bercerai meja dan tempat tidur dan keadaan tidak bercerai harta kekayaan merupakan dasar peniadaan penuntutan terhadap suami atau istri yang bertindak sebagai pelaku atau yang membantu melakukan tindak pidana penggelapan terhadap harta kekayaan istri dan suami mereka. Pada ayat yang kedua, hal yang menjadikan penggelapan sebagai delik aduan adalah keadaan di mana suami dan istri telah pisah atau telah bercerai harta kekayaan.
Alasannya, sama halnya dengan pencurian dalam keluarga yang dilakukan oleh suami atau istri terhadap harta kekayaan suami mereka, yaitu bahwa kemungkinan harta tersebut adalah harta bersama yang didapat ketika hidup bersama atau yang lebih dikenal dengan harta gono-gini yang mengakibatkan sulitnya membedakan apakah itu harta suami atau harta istri.
Oleh karena itu, perceraian harta kekayaan adalah yang menjadikan tindak pidana penggelapan dalam keluarga sebagai delik aduan.[4] Tindak pidana  Penggelapan dalam lingkungan keluarga dapat diadili jika kejahatan tersebut diadukan oleh keluarga yang bersengketa.

SURAT KUASA MEDIASI

                                                               SURAT KUASA MEDIASI Yang bertanda tangan di bawah ini : xxxxxxxx ...