Refrensi hukum Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan
v
Pasal 372 KUHP (Wetboek
van Strafrecht) tentang Penggelapan
“Barangsiapa
dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai milik sendiri (zich toeeigenen) barang sesuatu yang
seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam
kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam, karena penggelapan, dengan pidana
paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak enam puluh rupiah.”
Unsur-unsur Pasal 372 KUHP (Wetboek van
Strafrecht) :
1.
Barangsiapa;
2.
Dengan sengaja;
3.
Melawan hukum (wederrechttelijk) mengaku sebagai
milik sendiri (zich toeeigenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian
adalah kepunyaan orang lain (enig goed dat geheel of ten dele aan een
ander toebehoort);
4.
Yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan (anders
dan door misdrijf onder zich hebben).
1)
Unsur “Barangsiapa”
Unsur (bestandeel) barangsiapa ini menunjuk kepada pelaku/ subyek
tindak pidana, yaitu orang dan korporasi. Unsur barang siapa ini menunjuk
kepada subjek hukum, baik berupa orang pribadi (naturlijke persoon)
maupun korporasi atau badan hukum (recht persoon), yang apabila
terbukti memenuhi unsur dari suatu tindak pidana, maka ia dapat disebut sebagai
pelaku atau dader.
Bahwa, menurut Prof.
Sudikno Mertokusumo :
“Subyek hukum (subjectum juris) adalah segala sesuatu
yang dapat memperoleh, mempunyai atau menyandang hak dan kewajiban dari hukum, yang terdiri dari :
·
orang
(natuurlijkepersoon);
·
badan
hukum (rechtspersoon).”
(Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar),
Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, 1999, h. 12, 68-69)
Menurut Simons,
merumuskan strafbaar feit atau delik sebagai berikut :
“eene starfbaar
gestelde, onrechtmatige. Met schuld in verband staande, van een
toekeningsvatbaar persoon”
Artinya :
Suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan pidana, bertentangan dengan
hukum, dilakukan oleh seseorang yang bersalah dan orang itu dipandang
bertanggungjawab atas perbuatannya.
(Andi
Hamzah, Pemberantasan Korupsi, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2005, h. 98)
2)
Unsur “Dengan sengaja”
Bahwa, salah satu unsur yang
terdapat dalam Pasal 372 KUHP (Wetboek van
Strafrecht) ialah unsur “dengan
sengaja (opzettelijk)”, dimana
unsur ini merupakan unsur subjektif dalam tindak pidana penggelapan, yakni
unsur yang melekat pada subjek tindak pidana, ataupun yang melekat pada pribadi
pelakunya. Hal ini dikarenakan unsur “opzettelijk” atau unsur “dengan sengaja” merupakan unsur dalam tindak
pidana penggelapan, dengan sendirinya unsur tersebut harus dibuktikan.
Bahwa terdapat dua teori
berkaitan “dengan sengaja” atau opzettelijke.
Pertama, teori kehendak atau wilshtheorie yang dianut oleh
Simons, dan kedua teori pengetahuan atau voorstellingstheorie yang antara
lain dianut oleh Hamel.
Bahwa, maksud unsur
kesengajaan dalam pasal ini, adalah seorang pelaku atau dader sengaja melakukan
perbuatan-perbuatan dalam pasal 372 KUHP.
Bahwa, menurut PAF. Lamintang :
“Dalam tindak pidana (strafmaatregel) penggelapan (verduistering), agar seseorang dapat
dikualifikasikan telah dengan sengaja melakukan tindakan penggelapan, maka
dalam diri pelaku harus terdapat keadaan-keadaan sebagai berikut:
a.
Pelaku
telah “menghendaki” atau “bermaksud”
untuk menguasai suatu benda secara melawan hukum;
b.
Pelaku “mengetahui”
bahwa ia yang kuasai itu adalah sebuah benda;
c.
Pelaku “mengetahui” bahwa benda tersebut
sebagian atau seluruhnya adalah kepunyaan orang lain;
d.
“mengetahui”
bahwa benda tersebut berada padanya bukan karena kejahatan.”
(PAF.
Lamintang, Delik-Delik Khusus :
Kejahatan-Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, PT. Sinar Baru, Bandung, 1989,
h. 106)
Jika “kehendak” dan
“pengetahuan-pengetahuan” tersebut telah dapat dibuktikan maka baru dapat
dikatakan bahwa pelaku (dader) telah memenuhi unsur “dengan sengaja (opzettelijk)” yang
terdapat dalam unsur tindak
pidana penggelapan sebagaimana diatur dalam Pasal 372 KUHP (Wetboek van Strafrecht).
Bahwa, menurut Prof.
Satochid Kartanegara, SH bersama-sama ahli hukum lainnya dalam “hukum
pidana kumpulan kuliah bagian satu”, menyebutkan:
“kesengajaan (opzet) atau dolus dapat dirumuskan sebagai :
melaksanakan sesuatu perbuatan, yang dilarang oleh suatu keinginan untuk
berbuat atau tidak”
Bahwa, menurut Prof.
Satochid Kartanegara, SH, pengertian opzet dapat dilihat dalam Memorie van Tolichting (penjelasan
undang-undang), yaitu “willens en weten”, pengertian “willens
en weten” adalah :
“Seseorang yang
melakukan sesuatu perbuatan dengan sengaja, harus menghendaki (willen) perbuatan itu, serta harus
menginsyaf/ mengerti (weten) akan
akibat dari perbuatannya itu”
Bahwa, menurut Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung RI No. 166 K/Kr/1963, tanggal 7 Juli 1964,
menjelaskan :
“pemilikan dilakukan dengan sengaja dan bahwa pemilikan
itu dengan tanpa hak merupakan unsur-unsur daripada tindak pidana tersebut
dalam pasal 372 KUHP”
3)
Unsur “Melawan hukum (wederrechttelijk)
mengaku sebagai milik sendiri (zich
toeeigenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan
orang lain (enig goed dat geheel of ten
dele aan een ander toebehoort)”
Bahwa, unsur
lain yang terdapat pada Pasal 372 KUHP (Wetboek van Strafrecht), yaitu unsur
“melawan hukum
(wederrechtelijk) mengaku
sebagai milik sendiri (zich toeeigenen)
barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain”.
Bahwa, maksud
unsur “melawan hukum” atau wederrechtelijk
adalah apabila perbuatan yang dilakukan oleh seorang pelaku atau dader
bertentangan dengan norma hukum
tertulis (peraturan
perundang-undangan) atau norma hukum tidak tertulis (kepatutan atau kelayakan)
atau bertentangan dengan hak orang lain sehingga dapat dikenai sanksi
hukum.
Bahwa,
perkataan “memiliki secara melawan hukum” adalah terjemahan dari
perkataan “wederrechtelijk zich
toeeigent”, yang menurut Memorie van Toelichting ditafsirkan
sebagai:
“het zich wederrechtelijk als heer en meester gedragen ten
aanzien van het goed alsof hij eigenaar is, terwijl hij het niet is”
atau “secara melawan hukum memiliki sesuatu benda seolah-olah ia
adalah pemilik dari benda tersebut, padahal ia bukanlah pemiliknya”.
(P.A.F. Lamintang, C. Djisman Samosir, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru,
Bandung, h. 155)
Menurut Hoge Raad, perbuatan “zich
toeeigenen” adalah:
“Menguasai
benda milik orang lain secara bertentangan dengan sifat daripada hak yang
dimiliki oleh si pelaku atas benda tersebut.”
(P.A.F. Lamintang, C. Djisman Samosir, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru,
Bandung, h. 155)
Menurut Prof Mr. D. Simons mengartikan “zich toeeigenen”:
“Membawa sesuatu benda di bawah kekuasaannya yang
nyata sebagaiman yang dapat dilakukan oleh pemiliknya atas benda tersebut, sehingga
berakibat bahwa kekuasaan atas benda itu menjadi dilepaskan dari pemiliknya”
Menurut Brigjen Drs. H.A.K. Moch. Anwar, SH, menyatakan :
“unsur melawan hukum dapat terjadi bilamana pelaku
melakukan perbuatan memiliki itu tanpa hak atau kekuasaan. Ia tidak mempunyai
hak untuk melakukan perbuatan memiliki, sebab ia bukan yang punya, bukan
pemilik. Hanya pemilik yang mempunyai hak untuk memilikinya”
(Brigjen Drs. H.A.K. Moch. Anwar, SH, Hukum Pidana Khusus
(KUHP buku II), Alumni Bandung, 1979, hlm. 37)
Menurut Munir Fuady menyatakan :
Bahwa perbuatan yang dilakukan haruslah melawan hukum,
sejak tahun 1919, unsur melawan hukum ini diartikan dalam arti yang
seluas-luasnya, yakni meliputi hal-hal sebagai berikut:
a.
Perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku.
b.
Yang melanggar hak orang lain
yang dijamin oleh hukum.
c.
Perbuatan yang bertentangan
dengan kewajiban hukum si pelaku.
d.
Perbuatan yang bertentangan
dengan kesusilaan (goede zeden).
e.
Perbuatan yang bertentangan
dengan sikap yang baik dalam masyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang
lain (indruist tegen de zorgvildigheid, welke in het maatschappelijke verkeer
betaamt ten aanzien van anders person of goed)
(Munir fuady, Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan
Kontemporer), PT. Citra Aditya Bakti, bandung, 2005, Hal. 11)
4)
Yang ada
dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan (anders
dan door misdrijf onder zich hebben)
Bahwa, untuk
menentukan terpenuhinya unsur ini, maka pelaku (dader) yang diduga telah
melakukan tindak pidana (strafmaatregel) penggelapan (verduistering)
harus menguasai barang tersebut bukan dengan jalan kejahatan.
Menurut Adami Chazawi mengatakan :
“Sesuatu benda berada dalam kekuasaan
seseorang adalah apabila antara orang
itu dengan bendanya terdapat hubungan yang sedemikian eratnya, sehingga apabila
ia akan melakukan segala perbuatan terhadap benda itu ia dapat segera
melakukannya secara langsung dan nyata, tanpa terlebih dulu harus melakukan
perbuatan lain. Benda milik orang lain berada dalam kekuasaan seseorang bukan karena kejahatanlah yang merupakan
unsur dari delik penggelapan ini, dan ini dapat terjadi oleh sebab
perbuatan-perbuatan hukum seperti: penitipan, perjanjian sewa menyewa, pengancaman, dsb.”
(Adami Chazawi, Hukum Pidana III, Produksi Si Unyil, Malang, h. 12 & 15)
Menurut Brigjen Drs. H.A.K. Moch.
Anwar, SH,
“barang harus seluruhnya atau sebahagian kepunyaan
orang lain. Barang tidak perlu kepunyaan orang lain pada keseluruhannya”
(Brigjen Drs. H.A.K. Moch. Anwar, SH, Hukum Pidana Khusus (KUHP buku II), Alumni Bandung, 1979, hlm. 19)
2.1 Pengertian
Tindak Pidana Penggelapan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
Penggelapan diartikan sebagai proses, cara dan perbuatan menggelapkan
(penyelewengan) yang menggunakan barang secara tidak sah.
Menurut R. Soesilo (1968.258),
penggelapan adalah kejahatan yang hampir sama dengan pencurian dalam pasal 362.
Bedanya ialah pada pencurian barang yang dimiliki itu belum berada di tangan
pencuri dan masih harus “diambilnya” sedangkan pada penggelapan waktu
dimilikinya barang itu sudah ada di tangan si pembuat tidak dengan jalan
kejahatan.
Menurut Lamintang,
tindak pidana penggelapan adalah penyalahgunaan hak atau penyalahgunaan
kepercayaan oleh seorang yang mana kepercayaan tersebut diperolehnya tanpa
adanya unsur melawan hukum.[1]
Pengertian yuridis mengenai penggelapan diatur
pada Bab XXIV (buku II) KUHP, terdiri dari 5 pasal (372 s/d 376). Salah satunya
yakni Pasal 372 KUHP, merupakan tindak pidana penggelapan dalam bentuk pokok
yang rumusannya berbunyi: "Barang siapa dengan sengaja menguasai secara
melawan hukum sesuatu benda yang seharusnya atau sebagian merupakan kepunyaan
orang lain yang berada padanya bukan karena kejahatan, karena bersalah
melakukan penggelapan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 4 (empat)
tahun atau dengan pidana denda setinggi-tingginya 900 (sembilan ratus)
rupiah."[2]
Jadi, penggelapan dalam tindak pidana tersebut
dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang menyimpang/menyeleweng, menyalahgunakan kepercayaan orang lain dan
awal barang itu berada ditangan bukan merupakan perbuatan yang melawan hukum,
bukan dari hasil kejahatan.
2.2 Jenis-Jenis Tindak pidana
Penggelapan
Berikut jenis-jenis
tindak pidana penggelapan berdasarkan Bab XXIV Pasal 372 sampai dengan 377
KUHP.
1) Penggelapan
biasa
Yang dinamakan
penggelapan biasa adalah penggelapan yang diatur dalam Pasal 372 KUHP:
“Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai milik sendiri
(zich toeegenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan
orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam
karena penggelapan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
2) Penggelapan
Ringan
Pengelapan ringan
adalah penggelapan yang apabila yang digelapkan bukan ternak dan harganya tidak
lebih dari Rp.25. Diatur dalam Pasal 373 KUHP.
3) Penggelapan
dengan Pemberatan
Penggelapan dengan
pemberatan yakni penggelapan yang dilakukan oleh orang yang memegang barang itu
berhubungan dengan pekerjaannya atau jabatannya atau karena ia mendapat upah
(Pasal 374 KUHP).
4) Penggelapan oleh Wali dan Lain-lain.
Penggelapan
dalam lingkungan keluarga yakni penggelapan yang dilakukan dilakukan oleh orang
yang karena terpaksa diberi barang untuk disimpan, atau oleh wali, pengampu,
pengurus atau pelaksana surat wasiat, pengurus lembaga sosial atau yayasan,
terhadap barang sesuatu yang dikuasainya. (Pasal 375 KUHP).[3]
5) Tindak Pidana Penggelapan Dalam Keluarga
Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) mengatur tentang tindak pidana penggelapan.
Bagi tindak pidana penggelapan ini berlaku ketentuan dalam Pasal 367 KUHP, yaitu:
1) Jika
pembuat atau pembantu dari salah satu kejahatan dalam bab ini adalah
suami (istri) dan orang yang terkena kejahatan dan tidak terpisah meja
dan ranjang atau
terpisah harta kekayaan, maka terhadap pembuat atau pembantu itu tidak mungkin diadakan tuntutan pidana.
2) Jika
dia adalah suami (istri) yang terpisah meja dan ranjang atau terpisah
harta kekayaan, atau jika dia adalah keluarga sedarah atau semenda, baik
dalam garis lurus maupun garis menyimpang derajat kedua, maka terhadap
orang itu hanya mungkin diadakan penuntutan jika ada pengaduan yang
terkena kejahatan.
3) Jika
menurut lembaga matriarkal, kekuasaan bapak dilakukan oleh orang lain
daripada bapak kandung (sendiri), maka ketentuan ayat di atas berlaku
juga bagi orang itu.
Sehingga,
dari ketentuan di atas dapat kita lihat bahwa dalam hal penggelapan
dilakukan oleh suami/istri yang tidak terpisah meja, ranjang maupun
harta kekayaannya, maka tidak dapat dilakukan penuntutan terhadap
pelaku.
Sedangkan, bila penggelapan dilakukan oleh suami/istri yang melakukan pisah meja, ranjang atau harta kekayaan atau apabila pelakunya merupakan keluarga sedarah atau semenda baik dalam garis lurus maupun garis menyimpang derajat kedua,
maka terhadap pelaku tersebut hanya dapat dilakukan penuntutan bila
pihak yang dirugikan (yang hartanya digelapkan) mengadukannya ke pihak
kepolisian. Misalnya, seorang anak yang menggelapkan barang ayahnya atau
keponakan yang menggelapkan barang pamannya. Ketentuan tersebut berlaku
baik dalam adat istiadat patriarkal maupun matriarkal. Dalam
kondisi-kondisi tersebut berarti berlaku delik aduan.
Delik aduan
artinya delik yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau
laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana. Menurut Mr. Drs. E Utrecht dalam bukunya “Hukum Pidana II”,
dalam delik aduan penuntutan terhadap delik tersebut digantungkan pada
persetujuan dari yang dirugikan (korban). Pada delik aduan ini, korban
tindak pidana dapat mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang
apabila di antara mereka telah terjadi suatu perdamaian.
Namun, perlu
digaris bawahi bahwa tindak pidana penggelapan merupakan delik aduan
hanya dalam lingkup keluarga (sebagaimana telah kami jelaskan di atas).
Dalam hal tindak pidana penggelapan dilakukan di luar lingkup keluarga
tersebut, tindak pidana penggelapan bukanlah merupakan delik aduan.
Sehingga, meskipun laporan di kepolisian kemudian dicabut oleh korban,
proses penuntutan akan terus berjalan. Hal ini sesuai dengan tujuan
hukum acara pidana untuk mencari kebenaran materiil yaitu kebenaran yang
sesungguhnya mengenai siapa pelaku tindak pidana yang sesungguhnya yang
seharusnya dituntut dan didakwa.
Dan dalam hal
pengaduan telah dilakukan, namun kemudian korban hendak mencabut
pengaduannya (dalam hal korban termasuk lingkup keluarga sebagaimana
tersebut dalam Pasal 367 KUHP), maka pengaduan dapat ditarik
kembali/dicabut dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah pengaduan diajukan
(lihat Pasal 75 KUHP).
Jadi,
pencabutan laporan/pengaduan di kepolisian tidak akan menghentikan
penuntutan terhadap tindak pidana penggelapan, kecuali hal tersebut
terjadi dalam lingkup keluarga seperti yang telah kami paparkan di atas.
2.3 Unsur-Unsur Pasal Tindak Pidana
Penggelapan
Penggelapan terdapat unsur-unsur Objektif
meliputi perbuatan memiliki, sesuatu
benda, yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, yang berada dalam
kekuasaannya bukan karena kejahatan, dan unsur-unsur Subjektif
meliputi penggelapan dengan sengaja dan penggelapan melawan hukum. Pasal-Pasal
penggelapan antara lain :
1) Pasal 372 KUHP Penggelapan Biasa
a. Dengan sengaja memiliki.
b. Memiliki suatu barang.
c. Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik orang lain.
d. Mengakui memiliki secara melawan hukum.
e. Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.
Hukuman : Hukuman penjara selama-lamanya 4 tahun.
2) Pasal 373 KUHP Penggelapan Ringan
a. Dengan sengaja memiliki.
b. Memiliki suatu bukan ternak.
c. Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik orang lain.
d. Mengakui memiliki secara melawan hukum
e. Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.
f. Harganya tidak lebih dari Rp. 25,-
Hukuman : Hukuman penjara selama-lamanya 3 bulan.
3) Pasal 374 dan KUHP Penggelapan dengan Pemberatan
a. Dengan sengaja memiliki.
b. Memiliki suatu barang.
c. Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik orang lain.
d. Mengakui memiliki secara melawan hukum.
e. Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.
f. Berhubung dengan pekerjaan atau jabatan.
Hukuman : Hukuman penjara selama-lamanya 5 tahun.
4) Pasal 375 KUHP Penggelapan oleh Wali dan Lain-lain
a. Dengan sengaja memiliki.
b. Memiliki suatu barang.
c. Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik orang lain.
d. Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.
e. Terpaksa disuruh menyimpan barang.
f. Dilakukan oleh wali, atau pengurus atau pelaksana
surat wasiat, atau pengurus lembaga sosial atau yayasan.
Hukuman : Hukuman penjara
selama-lamanya 6 tahun.
Penggelapan yang ada pada pasal 375 ini adalah
beradanya benda objek Penggelapan di dalam kekuasaan pelaku disebabkan karena:
Terpaksa disuruh menyimpan barang itu, ini biasanya disebabkan karena terjadi
kebakaran, banjir dan sebagainya. Kedudukan sebagai seorang wali (voogd); Wali
yang dimaksudkan di sini adalah wali bagi anak-anak yang belum dewasa.
Kedudukan sebagai pengampu (curator); Pengampu yang dimaksudkan adalah
seseorang yang ditunjuk oleh hakim untuk menjadi wali bagi seseorang yang sudah
dewasa, akan tetapi orang tersebut dianggap tidak dapat berbuat hukum dan tidak
dapat menguasai atau mengatur harta bendanya disebabkan karena ia sakit jiwa
atau yang lainnya.
Kedudukan sebagai seorang kuasa (bewindvoerder);
Seorang kuasa berdasarkan BW adalah orang yang ditunjuk oleh hakim dan diberi
kuasa untuk mengurus harta benda seseorang yang telah ditinggalkan oleh
pemiliknya tanpa menunjuk seorang wakil pun untuk mengurus harta bendanya itu.
Kedudukan sebagai pelaksana surat wasiat; Yang dimaksud adalah seseorang yang
ditunjuk oleh pewaris di dalam surat wasiatnya untuk melaksanakan apa yang di
kehendaki oleh pewaris terhadap harta kekayaannya. Kedudukan sebagai pengurus
lembaga sosial atau yayasan.
5) Pasal 376 KUHP Penggelapan dalam Keluarga
a. Dengan sengaja memiliki.
b. Memiliki suatu barang.
c. Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik orang lain.
d. Mengakui memiliki secara melawan hukum.
e. Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.
f. Penggelapan dilakukan suami (isteri) yang tidak atau sudah diceraikan
atau sanak atau keluarga orang itu karena kawin.
Hukuman : Hanya dapat dilakukan penuntutan, kalau ada pengaduan dari
orang yang dikenakan kejahatan itu.
Tindak pidana penggelapan dalam keluarga disebut
juga delik aduan relatif dimana adanya aduan merupakan syarat untuk melakukan
penuntutan terhadap orang yang oleh pengadu disebutkan namanya di dalam
pengaduan. Dasar hukum delik ini diatur dalam pasal 376 yang merupakan rumusan
dari tindak pidana pencurian dalam kelurga sebagaimana telah diatur dalam
pembahasan tentang pidana pencurian, yang pada dasarnya pada ayat pertama bahwa
keadaan tidak bercerai meja dan tempat tidur dan keadaan tidak bercerai harta
kekayaan merupakan dasar peniadaan penuntutan terhadap suami atau istri yang
bertindak sebagai pelaku atau yang membantu melakukan tindak pidana penggelapan
terhadap harta kekayaan istri dan suami mereka. Pada ayat yang kedua, hal yang
menjadikan penggelapan sebagai delik aduan adalah keadaan di mana suami dan istri
telah pisah atau telah bercerai harta kekayaan.
Alasannya, sama halnya dengan pencurian dalam
keluarga yang dilakukan oleh suami atau istri terhadap harta kekayaan suami
mereka, yaitu bahwa kemungkinan harta tersebut adalah harta bersama yang
didapat ketika hidup bersama atau yang lebih dikenal dengan harta gono-gini
yang mengakibatkan sulitnya membedakan apakah itu harta suami atau harta istri.
Oleh karena itu, perceraian harta kekayaan adalah
yang menjadikan tindak pidana penggelapan dalam keluarga sebagai delik aduan.[4] Tindak pidana Penggelapan dalam lingkungan keluarga dapat
diadili jika kejahatan tersebut diadukan oleh keluarga yang bersengketa.